WNA Swedia Jadi Korban Grooming dan Sextortion Online, Polda Kaltim Ungkap Jejak Pelaku di Gim Roblox

Kepolisian Daerah Kalimantan Timur mengungkap kasus kejahatan siber yang melibatkan seorang pemuda asal Balikpapan, Kalimantan Timur, berinisial AMZ (20).
Ia diduga melakukan praktik grooming dan sextortion terhadap seorang remaja perempuan asal Swedia berusia 15 tahun.
Kasus ini pertama kali terendus pada 24 Juni 2025 melalui laporan Atase Kepolisian Indonesia di Berlin, Kombes Pol Sito Silitonga, setelah Kedutaan Besar Republik Indonesia di Stockholm menerima pengaduan dari ibu korban.
Kolaborasi antara Ditreskrimsus Polda Kaltim, Interpol, dan KBRI Stockholm menjadi kunci utama dalam mengungkap kasus ini.
AKBP Meilki Bharata, Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kaltim, menjelaskan bahwa komunikasi antara pelaku dan korban bermula pada pertengahan 2024 melalui gim daring Roblox.
“Setelah hubungan dekat terjalin, pelaku mulai mengancam akan menyebarkan konten sensitif jika korban tidak menuruti permintaannya,” ujar Meilki dalam konferensi pers pada Rabu (16/7/2025).
Apa Saja Barang Bukti yang Diamankan Polisi?
Dalam penggeledahan, penyidik menyita dua unit ponsel, satu laptop, lima akun email, serta akses ke platform digital seperti Discord, TikTok, dan ProVox. Selain itu, terdapat akun PayPal yang diduga digunakan dalam proses pemerasan.
Kompol Ariansyah, Kasubdit Siber Ditreskrimsus Polda Kaltim, menyebut pelaku sempat meminta uang sebesar 500 dolar AS. Namun, ibu korban hanya sempat mentransfer 50 dolar sebelum memutus komunikasi.
Dari hasil digital forensik, ditemukan 30 konten asusila yang dikirim korban kepada pelaku sejak Juni 2024 hingga Juli 2025, terdiri dari 10 foto dan 20 video. Konten-konten ini belum sempat disebarluaskan dan masih tersimpan di perangkat pelaku.
Mengapa Pelaku Tak Diproses Hukum Secara Pidana?
Meski unsur pemerasan dan pengancaman ditemukan, pelaku tidak dijerat dengan pasal penyebaran konten asusila sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kompol Ariansyah menegaskan bahwa tidak ada unsur distribusi karena konten belum disebarluaskan.
Selain itu, laporan dari korban bersifat informasi, bukan laporan resmi dalam ranah pro justitia.
Faktor lain yang menyulitkan penindakan hukum adalah lokasi korban yang berada di luar negeri.
Proses hukum lintas negara seperti ekstradisi memerlukan waktu dan prosedur kompleks. Atas dasar itu, kasus diselesaikan melalui pendekatan restorative justice dengan mediasi dan permintaan maaf pelaku kepada korban dan keluarga.
Kombes Pol Yuliyanto, Kabid Humas Polda Kaltim, menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap aktivitas digital anak-anak.
Ia menyebut bahwa modus seperti ini kerap dimulai dari komunikasi yang tampak akrab, tetapi berujung pada eksploitasi seksual.
“Pelaku membangun kepercayaan, berpura-pura menjadi teman dekat, lalu memanfaatkan kedekatan itu untuk mendapatkan konten vulgar dan memeras korban,” ungkapnya.
Yuliyanto juga mengimbau masyarakat agar tidak ragu melapor.
“Jika ada korban lain di luar sana yang mengalami hal serupa, kami minta untuk tidak diam. Kami akan lindungi dan bantu sepenuhnya,” tegasnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "" dan TribunKaltim.co.