Soal Wacana ''BPJS Hewan'' di Jakarta, Bukan Jaminan Sosial, Hanya Potongan Harga

Jakarta, BPJS Hewan, kucing, BPJS hewan, hewan peliharaan, bpjs hewan peliharaan, wacana bpjs untuk hewan, Soal Wacana ''BPJS Hewan'' di Jakarta, Bukan Jaminan Sosial, Hanya Potongan Harga

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (DKPKP) meluruskan wacana yang ramai diperbincangkan publik mengenai “BPJS Hewan”.

Kepala DKPKP DKI Jakarta, Hasudungan Sidabalok, menegaskan bahwa program yang sedang dirancang bukanlah skema jaminan sosial seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada manusia, melainkan bentuk subsidi atau potongan harga untuk layanan kesehatan hewan bagi masyarakat kurang mampu.

“Bukan BPJS. Hanya subsidi atau potongan harga. Kalau BPJS kan ada iurannya. Wacana untuk memberikan subsidi kepada pemilik hewan yang kurang mampu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan hewan,” ujar Hasudungan saat dikonfirmasi, Senin (9/6/2025).

Masih dalam Tahap Perencanaan

Hasudungan menjelaskan, program subsidi kesehatan hewan ini masih dalam tahap kajian awal. Pihaknya belum dapat memastikan layanan apa saja yang akan disubsidi maupun besaran potongan harga yang akan diberikan.

“Besarannya belum tahu berapa. Makanya perlu dikaji lebih mendalam,” kata dia.

Sistem subsidi tersebut nantinya akan diterapkan saat pemilik hewan membawa peliharaannya ke Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan).

Namun sebelum itu, DKPKP berencana untuk menambah jumlah Puskeswan di Jakarta. Saat ini, baru terdapat dua Puskeswan yang beroperasi, yakni di Ragunan, Jakarta Selatan, dan Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

“Kita juga harus mempersiapkan sarana dan prasarana yang memadai dulu misalnya menambah jumlah Puskeswan di Jakarta,” ujar Hasudungan.

Sebagai informasi, tarif layanan Puskeswan saat ini antara lain pemeriksaan dan obat sebesar Rp 70.000, sterilisasi kucing jantan maupun betina sebesar Rp 400.000, sterilisasi anjing jantan dan betina sebesar Rp 700.000, serta tes darah hematologi seharga Rp 100.000.

DKPKP juga telah menjalankan program sterilisasi hewan gratis yang mayoritas menyasar kucing, sementara layanan steril berbayar lebih banyak digunakan untuk anjing.

“Kalau program steril ada dua, yang berbayar dan tidak berbayar. Yang tidak berbayar itu sebagian besar kucing, dan yang berbayar di Puskeswan saat ada sidak adalah anjing,” ungkap Hasudungan.

Dorongan dari DPRD Jakarta

Wacana layanan BPJS hewan sebelumnya dilontarkan oleh Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI-P, Hardiyanto Kenneth.

Ia menilai, subsidi atau jaminan layanan kesehatan hewan sangat penting, khususnya bagi pemilik hewan yang berasal dari kalangan ekonomi lemah.

“Tidak semua pemilik hewan berlatar belakang dari kalangan mampu. Kadang yang mereka rescue itu kucing liar dan anjing liar, biasanya mereka juga akan merawatnya. Mereka adalah garda terdepan dalam bantuan pada hewan domestik,” ujar Kenneth kepada wartawan, Rabu (4/6/2025).

Ia berharap program “BPJS Hewan” dapat meringankan beban para pemilik hewan dalam membiayai perawatan.

“Nah dengan program BPJS hewan, harapannya agar mereka bisa lebih ringan dalam membiayai perawatannya,” imbuhnya.

Kenneth juga menyoroti pentingnya sistem identifikasi hewan melalui pemasangan microchip untuk mendukung pendataan yang lebih akurat dan terintegrasi.

Ia bahkan mendorong agar Puskeswan Ragunan menjadi barometer pelayanan kesehatan hewan di Indonesia.

“Saya ingin Puskeswan ini menjadi contoh nasional dan internasional. Ini tantangan buat Dr. Hasudungan untuk mewujudkan rumah sakit hewan yang berstandar internasional,” ujarnya.

PSI Desak Pembangunan 15 Puskeswan Sesuai Permentan

Menanggapi wacana BPJS Hewan, Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Francine Widjojo, mengingatkan agar Pemprov DKI lebih dulu fokus pada pemenuhan infrastruktur dasar layanan kesehatan hewan.

Ia merujuk pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 64 Tahun 2007 yang mewajibkan setiap wilayah memiliki minimal 15 Puskeswan.

“Jika mengacu pada Permentan tersebut, Jakarta seharusnya memiliki minimal 15 Puskeswan. Padahal saat ini Jakarta baru memiliki satu Puskeswan non-ternak di Jakarta Selatan,” kata Francine dalam keterangannya, Senin (9/6/2025).

Ia menegaskan pentingnya menyediakan layanan dasar secara merata sebelum melangkah ke program yang lebih kompleks seperti BPJS Hewan.

“Kita tidak bisa bicara soal jaminan kesehatan hewan, sementara Puskeswan yang biaya layanannya lebih terjangkau oleh masyarakat tapi baru ada satu, dan sampai sekarang pun belum bisa melayani gawat darurat 24 jam," ujarnya.

Francine juga mengingatkan bahwa program BPJS Hewan tidak boleh hanya menjadi proyek populis tanpa kesiapan regulasi, infrastruktur, dan sumber daya medis yang memadai.

“Prioritasnya tetap harus pada pemenuhan layanan dasar terlebih dahulu, agar program lanjutan seperti BPJS Hewan bisa diterapkan secara realistis, berkelanjutan, dan tidak membebani sistem yang belum kokoh,” katanya.

Terkait sistem identifikasi hewan melalui microchip, Francine menyoroti pentingnya pembaruan regulasi.

Saat ini, Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 199 Tahun 2016 hanya mewajibkan pemasangan microchip pada anjing sebagai Hewan Penular Rabies (HPR).

“Jika Pemprov DKI Jakarta ingin membangun sistem identifikasi hewan yang lebih komprehensif, maka Pergub ini perlu direvisi untuk menjangkau jenis hewan lain,” katanya.

Ia menilai, selama sembilan tahun terakhir implementasi Pergub tersebut belum optimal karena belum adanya sistem data yang mumpuni.

Tanpa pembaruan regulasi dan kesiapan sistem informasi yang mendukung, ia khawatir program identifikasi maupun subsidi kesehatan hewan tidak akan berjalan dengan baik.

“Dan sekali lagi, yang paling penting saat ini adalah memenuhi kewajiban Pemprov untuk menyediakan Puskeswan di seluruh wilayah DKI Jakarta,” pungkas Francine.

SUMBER: (Ruby Rachmadina, Faesal Mubarok / Editor: Akhdi Martin Pratama, Faieq Hidayat)