Sejarah Banjir Jakarta sejak Era Batavia, Warisan Kolonial yang Masih Terasa

Banjir, Jakarta, Batavia, banjir, banjir di Jakarta, Sejarah banjir di Jakarta, banjir di batavia, sejarah banjir jakarta, banjir jakarta tempo dulu, Sejarah Banjir Jakarta sejak Era Batavia, Warisan Kolonial yang Masih Terasa, Kota Gaya Belanda di Iklim Tropis, Kanal Menjadi Tempat Pembuangan Limbah, Banjir Berulang Hingga Abad ke-20, Usulan Pemindahan Ibu Kota ke Bandung

Banjir Jakarta yang kerap melumpuhkan ibu kota bukanlah peristiwa baru. Sejarah mencatat, persoalan ini telah terjadi sejak zaman kolonial, ketika kota ini masih bernama Batavia, dibangun oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di atas reruntuhan Kota Jayakarta.

Sejak saat itu, banjir telah menjadi bagian dari kehidupan warga kota, dan terus menghantui hingga hari ini.

Batavia dibangun oleh VOC setelah merebut Pelabuhan Jayakarta dari Pangeran Jayawikarta, wakil Kesultanan Banten, pada 30 Mei 1619.

Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen kemudian menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara.

Untuk mendukung aktivitas niaga, VOC memanfaatkan Pulau-Pulau Seribu sebagai basis pertahanan dan membuka jalur lebar untuk pedagang serta etnis Tionghoa yang datang ke kota itu.

Kota Gaya Belanda di Iklim Tropis

Pembangunan Batavia dilakukan berdasarkan peta rancangan Simon Stevin, perencana kota asal Belanda, atas permintaan Dewan Direksi VOC (Heeren XVII).  Hal itu dijelaskan oleh Iwan Hermawan dalam tulisannya Bencana di Batavia dan Pemindahan Pusat Pemerintahan pada Masa Kolonial Belanda yang diterbitkan oleh Balai Arkeologi Jawa Barat,

Kota ini dirancang menyerupai kota-kota di Belanda, berbentuk segi empat dengan benteng, kanal, dan balai kota. Dalam periode 1619 hingga 1627, kawasan Benteng Jacatra berkembang tiga kali lipat dari ukuran semula.

Namun, pembangunan kota ala Eropa tersebut tidak mempertimbangkan kondisi geografis dan iklim Batavia yang tropis, lembap, serta berada di wilayah rawa-rawa. Rumah-rumah Belanda yang dibangun tidak cocok untuk iklim panas, dan sistem kanal seperti di Amsterdam justru menjadi bumerang.

“Kanal-kanal yang dibangun VOC di Batavia awalnya ditujukan untuk transportasi dan drainase, tetapi karena tidak memperhitungkan tingginya sedimentasi dan curah hujan tropis, kanal-kanal itu cepat dangkal dan berubah menjadi sarang penyakit,” tulis Ridwan Soemalyo dkk dalam Batavia: Kota Benteng VOC.

Kanal Menjadi Tempat Pembuangan Limbah

Kanal-kanal di Batavia tidak hanya digunakan sebagai sarana transportasi, tetapi juga sebagai tempat mandi, mencuci, dan buang air besar (MCK).

Limbah rumah tangga dan kotoran manusia dibuang langsung ke kanal dan sungai, termasuk Ci Liwung yang membelah kota.

Pemerintah kolonial saat itu memberlakukan aturan yang melarang warga membuang hajat di siang hari. Warga hanya boleh melakukannya mulai tengah malam hingga pagi.

Akibatnya, setiap malam warga secara massal membuang kotoran ke kanal, memperparah pencemaran dan menimbulkan bau busuk di seluruh penjuru kota.

Bencana alam juga memperburuk kondisi kanal. Letusan Gunung Salak pada tahun 1699 menimbulkan longsoran dan sedimentasi besar-besaran di sungai-sungai yang berhulu di selatan Batavia, termasuk Ci Liwung.

Garis pantai pun bergeser 75 meter ke arah laut setiap tahun akibat timbunan lumpur di muara sungai.

Pendangkalan sungai dan kanal membuat aliran air tersumbat, menciptakan genangan dan rawa-rawa yang luas di sekitar kota. Lingkungan yang kotor dan lembap menjadi tempat berkembangnya penyakit berbahaya seperti malaria, kolera, dan pes.

Batavia pun dijuluki sebagai Het Graf der Hollanders atau “Kuburan Orang Belanda” karena tingginya angka kematian akibat wabah.

Banjir Berulang Hingga Abad ke-20

Banjir Jakarta terus terjadi meskipun pusat pemerintahan dipindahkan dari Oud Batavia ke Nieuw Batavia (Weltevreden) oleh Gubernur Jenderal HW Daendels pada awal abad ke-19 Weltevreden kini dikenal dengan nama Lapang Banteng. 

Secara Geografis dibatasi oleh Jalan Kantor Pos dan Jalan Doktor Sutomo di bagian utara, Jalan Gunung Sahari dan Pasar Senen di bagian timur, Jalan Prapatan di bagian selatan, serta Sungai Ci Liwung di bagian barat.

Pada awal abad ke-19, kawasan Weltevreden merupakan kawasan yang dipilih oleh Gubernur Jenderal H.W. Daendels sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda sebagai pengganti pusat pemerintahan lama di kawasan Benteng Batavia

Namun, daerah baru ini yang juga berada di dataran rendah tetap tak lepas dari ancaman banjir.

Pada 1 Januari 1892, banjir melanda Weltevreden dan sekitarnya akibat hujan lebat selama lebih dari delapan jam.

Banjir kembali terjadi pada awal tahun 1893, merusak infrastruktur dan melumpuhkan kegiatan ekonomi. Situasi diperburuk oleh merebaknya kolera yang menewaskan banyak warga.

Banjir besar juga tercatat terjadi pada 1895, 1899, dan 1904. Puncaknya, pada 19 Februari 1909, kanal-kanal tak mampu menampung debit air hujan yang deras, menyebabkan sebagian besar wilayah Batavia terendam.

Surat kabar De Locomotief kala itu menulis tajuk “Batavia Onder Water” sebagai sindiran terhadap lembaga BOW (Burgelijke Openbare Werken) yang dianggap gagal mengelola pengairan.

Usulan Pemindahan Ibu Kota ke Bandung

Kondisi kesehatan lingkungan di Batavia makin memprihatinkan.

Laporan HF Tillema pada 1916 menyatakan bahwa kota-kota pelabuhan di Jawa, termasuk Batavia, tidak sehat, beriklim panas, dan menjadi sarang penyakit. Ia mengusulkan agar ibu kota pemerintahan Hindia Belanda dipindahkan ke daerah pegunungan yang lebih sejuk seperti Bandung.

Usulan ini mendapat dukungan dari Prof. J. Klopper, Rektor Technische Hoogeschool (sekarang ITB).

Alasan pertahanan juga menjadi pertimbangan. Batavia yang berada di tepi laut rentan serangan musuh. Oleh sebab itu, kawasan seperti Cimahi yang lebih aman dan strategis mulai dibangun sebagai pangkalan militer.

Akhirnya, menjelang tahun 1920, pemerintah kolonial mulai merealisasikan pemindahan sebagian fungsi administratif ke Bandung.

Pemindahan pusat pemerintahan dilakukan sebagai upaya menghindari bencana yang kerap terjadi atau diperkirakan akan terjadi di masa mendatang. Faktor kesehatan lingkungan serta pertimbangan lokasi yang lebih terlindung menjadi alasan utama di balik keputusan tersebut.

Kondisi lingkungan di Oud Batavia yang semakin memburuk, ditambah dengan merebaknya pandemi akibat penurunan kualitas sanitasi kota, menjadi pemicu utama perlunya relokasi.

Selain itu, ancaman serangan dari angkatan laut Inggris turut memperkuat keputusan pemindahan.

Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pun memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah pedalaman yang dinilai lebih sehat, aman, dan strategis karena terhubung dengan jalur pelarian atau pengungsian jika situasi darurat terjadi.

Rencana pemindahan pusat pemerintahan ke Bandung juga menjadi bagian dari upaya ini, meskipun pelaksanaannya tidak sepenuhnya berjalan lancar.