Menara Saidah, Kisah Megahnya Gedung Romawi di Jakarta yang Kini Terbengkalai

Di antara hiruk pikuk Jakarta Timur, tepatnya di sepanjang Jalan MT Haryono, berdiri sebuah bangunan megah yang kini hanya menyisakan bayang kejayaannya.
Menara Saidah, dulunya dikenal sebagai Gracindo, adalah salah satu gedung pencakar langit pertama di kawasan tersebut yang sempat menampung kantor kementerian hingga lembaga negara.
Kini, gedung bergaya Romawi klasik itu terbengkalai dan ditutup sejak 2007.
Namun kisah di balik bangunan ini jauh lebih menarik daripada sekadar kabar bahwa ia "miring beberapa derajat".
Kemegahan Arsitektur Romawi di Tengah Jakarta
Menara Saidah bukan sembarang gedung. Tiang-tiang bergaya korintus, patung-patung khas Italia, dan ornamen bernuansa Eropa klasik menjadikannya ikon arsitektur unik di Jakarta.
Dikutip dari Arsip Harian Kompas (2 September 1999), gedung ini sempat jadi rumah bagi berbagai instansi penting, termasuk Sekretariat Panitia Pemilu 1999 (sekarang KPU) dan Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
Gedung ini awalnya dirancang sebagai pusat perkantoran modern oleh kontraktor BUMN PT Hutama Karya dan rampung pada tahun 1998, dengan anggaran Rp 50 miliar.
Dengan tinggi 30 lantai, kemegahannya sempat jadi simbol kebangkitan kawasan bisnis MT Haryono dan Gatot Subroto.
Pemilik Menara Saidah adalah Keluarga suami artis Inneke Koesherawati.
Dari Gracindo ke Saidah: Nama yang Menyimpan Jejak Keluarga
Menara ini awalnya bernama Gracindo, dimiliki oleh Mooryati Soedibyo, pendiri Mustika Ratu.
Beberapa tahun setelah pembangunan, gedung dilelang dan berpindah tangan ke Keluarga Saidah Abu Bakar Ibrahim, yang merupakan pemilik Merial Group.
Salah satu putra Saidah, Fajri Setiawan, kemudian melakukan renovasi besar-besaran, menambah jumlah lantai dari 18 menjadi 28, dan mengganti nama menjadi Menara Saidah, mengabadikan nama sang ibu.
Tak hanya sebagai gedung perkantoran, Menara Saidah juga pernah menjadi lokasi resepsi pernikahan aktris Inneke Koesherawati dengan Fahmi Darmawansyah pada 2004, yang merupakan saudara dari Fajri Setiawan.
2007: Awal Keruntuhan Menara yang Pernah Jaya
Tahun 2007 menjadi titik balik. Satu per satu penyewa angkat kaki. Beredar kabar bahwa gedung mulai miring dan berpotensi membahayakan.
Namun hingga kini, tak ada pernyataan resmi dari pihak pemilik maupun Suku Dinas P2B yang menjelaskan kondisi struktur bangunan.
Sementara itu, pengelola dari PT Gamlindo Nusa membantah isu kemiringan. Mereka berdalih bahwa pengosongan hanya karena habis masa sewa.
Meski demikian, sejak 2007, akses ke Menara Saidah ditutup untuk umum, dan hingga kini gedung itu tetap kosong, menjadi monumen bisu yang mencolok di tengah kota.
Bayang-bayang Kasus Hukum di Balik Nama Saidah
Cerita Menara Saidah tidak berhenti di arsitektur dan keterbengkalaiannya.
Nama pemiliknya, Fajri Setiawan, bersinggungan dengan kasus besar yang melibatkan Merial Group.
Pada 2016, anak usaha Merial Group, PT Merial Esa, terseret kasus korupsi proyek satelit dan drone di Bakamla.
Direktur perusahaan, Fahmi Darmawansyah, suami Inneke Koesherawati, divonis 2 tahun 8 bulan penjara.
PT Merial Esa pun menjadi salah satu perusahaan pertama yang ikut dihukum dalam perkara KKN, didenda Rp 200 juta dan harus membayar uang pengganti Rp 126 miliar.
Monumen Kosong yang Penuh Cerita
Menara Saidah hari ini tak lebih dari sebuah ikon terbengkalai, megah di luar, sunyi di dalam.
Namun, sejarahnya mencakup banyak hal: kemewahan, ambisi bisnis, kisah keluarga, hingga jejak kasus hukum.
Gedung yang dahulu jadi simbol kemajuan kini berdiri seperti cangkang kosong, menyimpan kisah yang lebih besar daripada tiang-tiang korintus yang menopangnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul .