Dibalik Pertanyaan “Kapan Nikah? Kapan Punya Anak?” Iri, Peduli, atau Sekadar Kepo?

Bayangkan suasana kumpul keluarga saat Lebaran atau arisan. Obrolan awal biasanya ringan: pekerjaan, kabar kesehatan, atau makanan di meja. Tapi tak lama kemudian, ada saja yang melempar pertanyaan klasik, “Eh, kapan nikah?” atau “Kapan punya anak?”
Pertanyaan sederhana ini sering terdengar biasa, tapi bagi sebagian orang bisa terasa menohok dan bikin tak nyaman. Fenomena ini hampir universal, terutama di budaya kolektivis seperti Indonesia. Pertanyaan tentang status pernikahan atau keturunan seakan menjadi bagian dari basa-basi wajib.
Namun, apakah pertanyaan itu selalu muncul karena peduli? Atau ada faktor lain seperti rasa iri, kebutuhan sosial, bahkan sekadar kebiasaan kepo? Mari kita bongkar bersama.
Motif di Balik Pertanyaan: Antara Kepo, Peduli, dan Iri
1. Sekadar Kepo atau Rasa Ingin Tahu
Rasa ingin tahu adalah bagian dari interaksi sosial. Banyak orang mengajukan pertanyaan pribadi sebagai cara membuka percakapan atau mencari bahan obrolan. Misalnya, bertanya soal jodoh dianggap sebagai “small talk” yang aman, meski nyatanya justru bikin lawan bicara tak nyaman.
2. Peduli dan Berniat Baik
Tidak jarang, pertanyaan itu lahir dari niat peduli. Keluarga mungkin ingin tahu kapan kamu siap menikah karena mereka mengkhawatirkan kesehatan reproduksi, kesiapan finansial, atau sekadar ingin memberi dukungan.
3. Iri dan Kompetisi Sosial
Di sisi lain, ada juga pertanyaan yang berbalut rasa iri. Misalnya, seseorang yang sudah menikah atau sudah punya anak merasa “lebih dulu mencapai standar” dan ingin menekankan keunggulannya. Pertanyaan itu lalu muncul sebagai bentuk kompetisi sosial yang terselubung.
4. Norma Budaya dan Ekspektasi Generasi
Budaya kolektivis menempatkan pernikahan dan keturunan sebagai tolok ukur utama kesuksesan hidup. Maka tak heran, orang-orang lebih sering menanyakan “Kapan nikah?” daripada “Apa pencapaian terbarumu di kantor?”
Untuk memahami lebih dalam, mari dengarkan penjelasan dari seorang psikoterapis asal Amerika Serikat yang menulis di Psychology Today, F. Diane Barth, L.C.S.W. Dalam artikelnya tentang pertanyaan pribadi yang canggung, Barth menjelaskan ada enam alasan mengapa orang kerap melontarkan pertanyaan seperti “Kapan nikah?” atau “Kapan punya anak?”. Menurutnya, pertanyaan itu bisa muncul dari:
- Ketidaksadaran sosial — orang tidak sadar bahwa pertanyaannya menyinggung.
- Pemberontakan halus — sengaja melanggar norma sopan santun.
- Kemarahan atau keinginan menyakiti — kadang didorong rasa iri atau cemburu.
- Mengidentifikasi diri dengan agresor — meniru pola yang dulu pernah ia terima.
- Niat membantu — benar-benar ingin menolong.
- Keinginan membangun koneksi — mencoba merasa dekat dengan orang lain.
”Orang-orang seperti tante Kerri… sebenarnya juga sedang berusaha membuat koneksi denganmu,” tulis dia.
Artinya, meski pertanyaan terasa mengganggu, sebagian besar motivasi bisa jadi bukan untuk melukai, melainkan untuk menjembatani hubungan. Sayangnya, cara yang dipilih sering tidak tepat.
Dampak pada yang Ditanya
Bagi sebagian orang, pertanyaan semacam ini bisa terasa ringan. Namun, bagi yang sedang menghadapi masalah pribadi seperti kesulitan menemukan pasangan, infertilitas, atau tekanan finansial pertanyaan itu bisa memicu stres, rasa malu, atau minder.
Dalam beberapa kasus, pertanyaan berulang bisa memengaruhi kesehatan mental. Individu merasa tidak memenuhi standar sosial yang diharapkan, sehingga muncul kecemasan dan menurunnya kepercayaan diri.
Di lingkungan keluarga, dampak ini bisa menimbulkan jarak emosional. Ada orang yang akhirnya enggan hadir di acara kumpul keluarga karena khawatir ditanya hal-hal sensitif.
Cara Merespons Pertanyaan dengan Elegan
Pertanyaan ini tidak akan hilang begitu saja. Maka, cara terbaik adalah menyiapkan strategi untuk merespons.
1. Gunakan Humor
Jawaban ringan bisa mencairkan suasana. Misalnya:
- “Lagi nunggu diskon nikah dulu, Om.”
- “Tunggu yang cocok kayak di drama Korea, Tante.”
Humor membantu menghindari konflik tanpa membuat suasana jadi tegang.
2. Pasang Batas dengan Sopan
Kalau pertanyaan terasa terlalu jauh, kamu bisa tegas tapi tetap sopan:
- “Itu masih rencana pribadi, tapi terima kasih perhatiannya.”
- “Belum ada kabar, nanti kalau ada pasti cerita kok.”
Jawaban singkat ini menutup topik tanpa memperpanjang diskusi.
3. Alihkan Topik
Setelah menjawab singkat, segera arahkan percakapan ke topik lain. Misalnya, bertanya balik soal pekerjaan, anak, atau hobi si penanya.
4. Edukasi dengan Halus
Jika merasa nyaman, kamu bisa menjelaskan bahwa pertanyaan itu cukup sensitif. Ini juga bisa menjadi kesempatan mengedukasi orang lain agar lebih berhati-hati.