Sejarah Gedung Grahadi Surabaya, Dulu Rumah Kebun Belanda, Kini Habis Dibakar Massa

Gedung Grahadi, Awal Mula Gedung Grahadi: Rumah Kebun Belanda, Peran Gedung Grahadi dalam Sejarah, Arsitektur yang Memukau, Tragedi Kebakaran oleh Massa Demonstrasi
Gedung Grahadi

Di jantung Kota Surabaya, berdiri megah Gedung Negara Grahadi, sebuah bangunan bersejarah yang menyimpan cerita panjang perkembangan kota pahlawan ini. Berlokasi di Jalan Gubernur Suryo, Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, gedung ini bukan sekadar cagar budaya, tetapi juga simbol kenegaraan Jawa Timur. 

Nama "Grahadi" berasal dari bahasa Sanskerta, "Graha" yang berarti rumah dan "Adi" yang merujuk pada derajat tinggi atau keindahan. Dengan arsitektur bergaya Eropa yang memukau, Gedung Grahadi menawarkan daya tarik wisata sejarah yang tak hanya memanjakan mata, tetapi juga mengajak pengunjung menyelami perjalanan waktu selama lebih dari dua abad. 

Namun, kejadian tragis baru-baru ini telah mengguncang keberadaan bangunan ikonik ini, menambah lapisan baru dalam sejarahnya yang penuh warna.

Awal Mula Gedung Grahadi: Rumah Kebun Belanda

Gedung Grahadi dibangun pada tahun 1795 pada masa pemerintahan Residen Dirk van Hogendorp, penguasa Jawa bagian timur (Gezahebber van Hat Oost Hoek) di bawah kekuasaan VOC. Awalnya, gedung ini didirikan sebagai tuinhuis, konsep rumah kebun Belanda yang dikelilingi taman bunga luas, dirancang dengan gaya Oud Hollandstijl oleh arsitek Belanda, Ir. W. Lemci. 

Berlokasi di tepi Sungai Kalimas, yang saat itu menjadi jalur transportasi utama, gedung ini menghadap utara agar penghuni dapat menikmati pemandangan perahu yang hilir mudik sembari menyeruput teh di sore hari. 

Lahan seluas 16.284 meter persegi ini awalnya dimiliki oleh seorang Tionghoa dan dibeli pemerintah kolonial dengan kompensasi 1,5 sen, dengan biaya pembangunan mencapai 14.000 ringgit.

Pada tahun 1802, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels mengubah orientasi gedung menghadap selatan, membelakangi Kalimas, untuk menyesuaikan dengan perkembangan Jalan Raya Daendels (kini Jalan Gubernur Suryo). 

Renovasi besar dilakukan pada tahun 1810, mengubah gaya arsitektur menjadi Empire Style atau Dutch Colonial Villa, yang memadukan elemen neoklasik Perancis dengan karakter kolonial Hindia Belanda. Gedung ini menjadi tempat tinggal dan peristirahatan pejabat Belanda, bahkan sering digunakan untuk pertemuan dan pesta mewah.

Peran Gedung Grahadi dalam Sejarah

Selama masa penjajahan Jepang (1942–1945), Gedung Grahadi beralih fungsi sebagai rumah singgah Gubernur Jepang (Syuuchockan Kakka) dan tempat sidang Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi). Gedung ini juga menjadi lokasi resepsi dan pesta dansa, mencerminkan kemewahan era kolonial. 

Pasca-kemerdekaan Indonesia, Gedung Grahadi menjadi saksi bisu perjuangan bangsa. Pada Oktober 1945, gedung ini menjadi tempat perundingan penting antara Presiden Soekarno dan Jenderal Hawthorn untuk mendamaikan pertempuran antara pejuang Indonesia dan pasukan Sekutu. 

Tragisnya, pada 9 November 1945, Gubernur Suryo, gubernur keenam Jawa Timur, menolak ultimatum menyerah tanpa syarat dari Inggris di gedung ini, dan keesokan harinya beliau gugur.

Sejak tahun 1870, gedung ini resmi menjadi rumah Residen Surabaya, dan kini berfungsi sebagai rumah dinas Gubernur Jawa Timur. Gedung ini juga menjadi tempat pelantikan pejabat, upacara kenegaraan seperti peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, dan menyambut tamu penting, termasuk presiden Republik Indonesia saat kunjungan kerja. 

Pada tahun 1991, Pemerintah Provinsi Jawa Timur membuka Gedung Grahadi untuk wisata publik, memungkinkan masyarakat menjelajahi keindahan arsitektur dan sejarahnya setiap Senin hingga Sabtu dengan jam kunjungan terbatas.

Arsitektur yang Memukau

Keindahan Gedung Grahadi terletak pada arsitektur neoklasiknya yang disesuaikan dengan iklim tropis. Bangunan dua lantai ini memiliki luas bangunan induk 2.016 m² dan bangunan penunjang 4.125,75 m². Fasad simetris dengan jendela-jendela lebar dan pintu-pintu besar memungkinkan sirkulasi udara yang baik, cocok untuk iklim Surabaya. 

Balkon besar di gedung utama dulunya menghadap Kalimas, menawarkan pemandangan yang menawan. Tata letak ruang yang seimbang dan ornamen Eropa klasik menambah kemegahan gedung ini, menjadikannya salah satu cagar budaya paling berharga di Surabaya.

Tragedi Kebakaran oleh Massa Demonstrasi

Pada Sabtu malam, 30 Agustus 2025, Gedung Grahadi mengalami musibah tragis. Ribuan massa demonstran, yang awalnya menuntut pembebasan rekan mereka yang ditahan oleh Polrestabes Surabaya, memicu kericuhan di depan gedung. Situasi memanas sekitar pukul 21.30 WIB ketika massa melempar benda keras, termasuk bom molotov, dan merangsek masuk melalui sisi barat gedung. 

Aksi anarkis ini menyebabkan kebakaran hebat yang melalap ruang kerja Wakil Gubernur Emil Dardak, ruang biro umum, ruang biro rumah tangga, dan ruang wartawan. Barang-barang seperti komputer, meja, kursi, dan bahkan kasur dijarah massa, sementara sejumlah kendaraan, termasuk 21 motor di halaman gedung, turut dibakar.  

Gubernur Khofifah Indar Parawansa sempat menemui demonstran untuk meredakan situasi, namun aksi tak terkendali ini meninggalkan luka baru pada sejarah Gedung Grahadi.