Sejarah Gas Air Mata, Senjata Perang Dunia yang Kini Jadi Alat Pengendali Demo

Gas air mata adalah senjata kimia yang sering kali digunakan untuk tujuan mengendalikan massa saat demonstrasi, tak terkecuali di Indonesia.
Dalam demonstrasi yang ramai terjadi di berbagai wilayah di Indonesia selama akhir Agustus 2025 hingga 1 September 2025, gas air mata juga masih menjadi andalan aparat untuk membubarkan massa.
Ternyata penggunaan senjata kimia ini memiliki sejarah yang panjang, berawal dari Perang Dunia I, satu abad lalu.
Awal Penemuan Gas Air Mata
Gas air mata pertama kali dikembangkan oleh ilmuwan Jerman pada akhir abad ke-19 melalui senyawa chloroacetophenone.
Meski disebut “gas”, bentuknya berupa bubuk mikro yang disebarkan ke udara, menimbulkan perih di mata, batuk, hingga sesak napas.
Pada awal abad ke-20, polisi Perancis sempat bereksperimen dengan gas air mata untuk menangkap penjahat.
Namun, penggunaannya meluas saat Perang Dunia I terjadi pada1914-1918, ketika pasukan sekutu dan Jerman menjadikannya bagian dari senjata perang, sebelum beralih ke gas klorin dan mustard yang jauh lebih mematikan.
Sejarah Gas Air Mata, dari Medan Perang Jadi Senjata Polisi
Usai perang, stok besar amunisi kimia mendorong industri AS mencari pasar baru.
Sejak 1921, Divisi Perang Kimia (CWD) mulai menguji gas air mata untuk kepolisian.
Chicago dan New York menjadi pelopor, menggunakan granat gas air mata untuk membubarkan kerusuhan atau menangkap penjahat.
Hanya dalam waktu singkat, gas air mata bertransformasi dari senjata militer menjadi alat pengendali massa sipil.
Pada akhir 1923, lebih dari 600 kota di AS telah mengadopsinya.
Masaa membubarkan diri saat polisi melepas tembakan gas air mata saat demo penolakan kenaikan tunjangan anggota dewan di Jambi, Senin (1/9/2025)
Gas Air Mata di Indonesia: Antara Kendali Massa dan Tragedi
Seiring waktu, gas air mata juga digunakan di Indonesia dalam berbagai demonstrasi besar.
Dalam aksi terbaru di depan DPR RI, gas air mata kembali dipakai untuk memukul mundur massa, memicu kepanikan dan korban yang harus dievakuasi.
Namun, sejarah juga mencatat tragedi penggunaan gas air mata di Indonesia.
Tragedi Kanjuruhan Malang (1 Oktober 2022) menjadi insiden paling memilukan.
Penembakan gas air mata di stadion yang penuh penonton membuat kepanikan tak terkendali.
Pintu keluar yang sempit membuat ribuan orang berdesakan, hingga lebih dari 125 nyawa melayang.
Investigasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menyimpulkan bahwa tembakan gas air mata menjadi faktor utama jatuhnya korban massal.
Peristiwa itu meninggalkan luka mendalam sekaligus peringatan bahwa penggunaan gas air mata di ruang tertutup atau dalam jumlah berlebihan dapat berujung fatal.
Risiko Kesehatan Gas Air Mata
Pakar toksikologi Universitas Airlangga, Shoim Hidayat, menjelaskan bahwa gas air mata umumnya mengandung senyawa CS (chlorobenzylidene malononitrile), CN (chloroacetophenone), hingga semprotan merica (OC).
Zat ini bekerja sebagai iritan kuat terhadap mata, saluran pernapasan, dan kulit.
Efeknya bisa ringan bila paparannya singkat, sekadar pedih dan batuk yang hilang dalam 30 menit.
Namun, dalam paparan tinggi dan lama, dapat menimbulkan radang berat, gangguan penglihatan, pembengkakan saluran napas, hingga komplikasi serius yang menyebabkan kematian.
“Jadi, kalau kadarnya itu rendah dan sebentar, efeknya akan terasa sekitar 20 detik dan hilang sekitar 30 menit sampai 1 jam. Tapi kalau parah, itu akan terjadi komplikasi dan itulah yang akan mengakibatkan kematian dan sebagainya,” ujar Shoim, dikutip dari situs resmi Universitas Airlangga.
Sejarah gas air mata menunjukkan perjalanan panjangnya: dari penemuan di Jerman, penggunaannya di medan perang, hingga akhirnya menjadi instrumen polisi untuk mengendalikan massa.
amun, insiden-insiden di Indonesia, termasuk Tragedi Kanjuruhan dan demonstrasi besar di depan DPR, membuktikan bahwa meskipun digolongkan sebagai senjata “tidak mematikan”, gas air mata tetap menyimpan risiko berbahaya bagi nyawa manusia.
Di tengah gelombang protes yang marak, penggunaan gas air mata kembali menjadi perdebatan, antara fungsi sebagai pengendali kerumunan dan ancaman terhadap keselamatan warga sipil.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul .
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.