Kebijakan Tarif AS Dinilai Menyalahi ‘Rukun Iman’ Perdagangan Bebas, DPR Minta WTO, IMF Hingga Bank Dunia Dibubarkan

Kebijakan Tarif AS Dinilai Menyalahi ‘Rukun Iman’ Perdagangan Bebas, DPR Minta WTO, IMF Hingga Bank Dunia Dibubarkan

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, menyerukan agar seluruh negara kembali mengedepankan multilateralisme dalam menghadapi dinamika global, terutama di sektor perdagangan, keuangan, dan ekonomi. Said menekankan pentingnya merevitalisasi peran Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia sesuai mandat awal pembentukannya.

"Saya mengajak semua negara untuk berfikir secara multilateral. Saatnya WTO membuktikan diri bahwa mereka duduk untuk kepentingan internasional,” ujar Said dalam keterangannya, Kamis (24/7).

Ia menyoroti ketidakadilan yang muncul sejak perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China pada 2018. Menurut Said, kebijakan sepihak AS yang memberlakukan tarif tinggi pada banyak negara mengindikasikan arah tatanan internasional yang semakin tidak teratur.

“Lucu sekaligus sedih, tidak ada satupun negara yang membawa kasus ini ke sidang WTO. Semua ramai-ramai berunding dengan AS dengan posisi tawar yang lemah. Jadinya bukan berunding, tetapi mengiba belas kasih,” sindir Said.

Padahal, Said mengingatkan, semangat awal pendirian GATT (yang kemudian menjadi WTO pada 1995) adalah untuk mendorong perdagangan bebas yang adil, berdasarkan prinsip non-diskriminasi, transparansi, dan perlakuan setara. Ia juga menyebut bagaimana negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dahulu dipaksa beradaptasi dengan sistem perdagangan bebas, meskipun kesulitan menghadapi dominasi negara maju.

"Negara-negara berkembang seperti Indonesia ‘babak belur’, seperti pertarungan Daud dan Goliat di gelanggang perdagangan bebas, karena ketimpangan kualitas produk, harga, dan kapasitas produksi,” jelasnya.

Namun, seiring waktu, banyak negara berkembang berhasil bangkit. Said mencontohkan Vietnam, Thailand, Indonesia, hingga China yang kini justru menjadi kekuatan perdagangan internasional yang signifikan. Pada 2024, nilai perdagangan global China mencapai USD 6,164 miliar, melampaui AS yang sebesar USD 5,424 miliar.

Ironisnya, ketika produk manufaktur AS kalah saing dan neraca perdagangannya defisit, AS justru berbalik memberlakukan tarif sepihak, melanggar prinsip dasar perdagangan bebas yang selama ini mereka kampanyekan.

"Ini jelas menyalahi ‘rukun iman’ perdagangan bebas, yakni perdagangan tanpa hambatan tarif. Kenapa WTO diam?,” tegas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.

Ia mempertanyakan efektivitas lembaga-lembaga internasional tersebut, yang seolah hanya berfungsi ketika mendukung kepentingan negara-negara besar, namun bungkam saat kepentingan mereka terganggu.

"Diamnya WTO makin menegaskan bahwa kelembagaan WTO hanya diperlukan bila sejalan dengan kepentingan negara-negara maju seperti AS. Bila tidak sejalan, tidak diperlukan lagi,” ujarnya.

Said berpendapat, jika lembaga-lembaga seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia tidak lagi mampu menjalankan fungsinya secara adil, maka lebih baik dibubarkan saja. “Daripada keberadaannya seperti tidak ada. Buat apa kita iuran ada WTO, IMF dan Bank Dunia kalau nyatanya malfunction, malah habiskan biaya tiada guna,” tegasnya.

Meskipun demikian, Said masih menyimpan harapan. Ia meyakini bahwa jika dunia internasional masih menganggap penting keberadaan lembaga-lembaga ini, maka diperlukan komitmen kolektif untuk memperkuat dan menyempurnakan kembali perannya.

"Kalau kita memandang penting, masih ada secercah harapan. Mari kita bergandengan lebih erat, membulatkan tekad, kuatkan dan sempurnakan kembali WTO, IMF dan Bank Dunia sebagai jalur penyelesaian internasional yang lebih adil,” pungkasnya.