Asal-Usul Jembatan Haji Endang: Dibangun agar Kampung Tak Terisolasi dengan Modal Rp 5 Miliar

Spanduk tak berizin dipasang di Jembatan Perahu Haji Endang di Desa Anggadita, Kecamatan Klari, Karawang, Jawa Barat.
Spanduk tersebut dipasang oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum pada Senin (28/4/2025).
Dalam spanduk tersebut, BBWS menyampaikan, jembatan tidak memiliki izin resmi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Lantas, bagaimana asal-usul Jembatan Haji Endang?
Asal-usul Jembatan Haji Endang
Jembatan Haji Endang merupakan jembatan yang dibuat oleh Muhammad Endang Junaedi atau yang biasa dipanggil dengan Haji Endang.
Haji Endang menyampaikan, pembangunan jembatan tersebut bermula di tahun 2010.
Saat itu seorang tokoh Dusun Rumambe menyampaikan keluhan kepada Haji Endang mengenai desanya yang terisolasi.
"Karena jalan buntu, agar kampungnya enggak terisolasi maka perlu dibangun penyeberangan. Dulu ini tempat menyeberang kerbau," kata Haji Endang dikutip dari (30/12/2021).
Saat itu, Haji Endang meminta izin kepada Dadang S Muchtar selaku Bupati Karawang masa itu.
Namun karena beberapa alasan, termasuk risiko, Dadang menyarankan agar Endang menjalankan sendiri.
Singkat cerita, jembatan yang membelah Sungai CItarum itu pun kemudian dibuat.
Jembatan awalnya berbahan kayu, namun pada 2014 jembatan itu pernah karam.
Ia kemudian memutar otak guna memikirkan konsep jembatan penyeberangan yang aman.
Pada akhirnya, tercetuslah ide untuk membuatan jembatan menggunakan besi atau perahu ponton.
"Kita otodidak aja. Kita pikirkan juga safety-nya,"
Endang menatakan, jembatan itu dibuat dengan modal mencapai Rp 5 miliar. Menurut dia, ia harus beberapa kali meminjam ke bank untuk membangun jembatan itu.
Omset Rp 20 juta sehari
Jembatan Haji Endang kini menjadi akses mobilitas warga, dengan tarif Rp 2.000.
Haji Endang mengatakan, pendapatan dari jembatan itu yakni Rp 20 juta per hari.
Hasil pendapatan ini digunakan untuk biaya operasional sebesar Rp 8 juta per hari.
Biaya operasional ini termasuk perawatan, penerangan, hingga upah pekerja.
Selain itu juga dipakai untuk perawatan termasuk untuk jalan akses menuju jembatan.
Tarif itu menurut dia juga bukan tarif yang kaku, karena kadang ada warga yang membayar Rp 1.000, bahkan kadang tak membayar karena lupa membawa uang.
Dianggap melanggar Undang-undang
Akun resmi BBWS Citarum @pu_sda_citarum menyebut, pembangunan dan pengoperasian jembatan perahu tanpa izin, melanggar UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.
Selain itu, Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015 juga mengatur bahwa pemanfaatan sempadan sungai hanya dapat dilakukan untuk kegiatan tertentu yang harus mendapatkan izin dari pemerintah sesuai kewenangannya.
Keberadaan jembatan ini dinilai mengganggu fungsi alam sungai terutama saat debit air meningkat atau terjadi banjir.
BBWS mendorong koordinasi antara pihak pengelola jembatan, pemerintah daerah, dan BBWS CItarum guna mendapat solusi terbaik demi kepentingan masyarakat sekitar.
Adapun Haji Endang menyebut, jembatan itu telah mengantongi nomor induk berusaha (NIB).
Ia juga mempertanyakan mengenai protes BBWS padahal jembatan sudah ada selama 15 tahun.
"Walaupun saya izin sebenarnya ada yah, bolehlah anggap saya ilegal, tetapi manfaatnya banyak, dibilang dia berbayar, saya kan bukan baru sekarang, sudah 15 tahun berjalan," ujar Endang.