Pertama dalam Sejarah Suriname Pilih Perempuan sebagai Presiden

Pertama dalam Sejarah Suriname Pilih Perempuan sebagai Presiden

mencatatkan sejarah dengan memilih perempuan presiden pertama. Parlemen Suriname memilih Jennifer Simons sebagai presiden negara tersebut pada Minggu (6/7). Simons, yang merupakan dokter sekaligus mantan ketua parlemen, akan memimpin negara Amerika Selatan tersebut, yang tengah berada di ambang ledakan ekonomi akibat prediksi lonjakan minyak.

Anggota parlemen Suriname memilih Simons enam minggu setelah partai penguasa dan oposisi utama hampir imbang dalam pemilu legislatif. Keadaan itu kemudian menghasilkan kesepakatan koalisi untuk mengangkat Simons sebagai presiden.

Partai oposisi Simons, National Democratic Party (NDP), memenangi 18 kursi, sedangkan Progressive Reform Party (PRP) milik Presiden petahana Chan Santokhi meraih 17 kursi dalam pemilu parlemen pada 25 Mei. Partai-partai kecil meraih 16 kursi sisanya.

Presiden Suriname dipilih secara tidak langsung. Setelah pemilu umum, anggota Majelis Nasional Suriname memilih presiden. Seorang kandidat harus memperoleh mayoritas dua pertiga suara untuk terpilih.

“Saya menerima ke jabatan ini untuk mengabdi. Saya akan menggunakan seluruh pengetahuan, kekuatan, dan wawasan saya untuk memastikan kekayaan kita bisa dinikmati seluruh rakyat,” ujar Simons dalam pidato singkat setelah pengangkatannya, dikutip CNN.

Perempuan 71 tahun itu berjanji akan memberikan perhatian khusus pada generasi muda dan mereka yang belum memiliki kesempatan terbaik. “Saya sangat menyadari tanggung jawab besar yang kini ada di pundak kami, tanggung jawab yang semakin besar bagi saya karena saya ialah perempuan pertama yang menduduki jabatan ini. Saya tak perlu banyak kata. Terima kasih dan mari kita mulai bekerja,” imbuhnya.

Presiden petahana Chan Santokhi, mantan komisaris polisi berusia 66 tahun yang mencalonkan diri kembali, dikritik atas kurangnya perlindungan bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan.

Santokhi mengucapkan selamat kepada Simons dan mengatakan kepada parlemen bahwa ia bertanggung jawab atas segala kekurangannya dan berharap dikenang karena komitmennya. Ia menyatakan akan tetap mengabdi sebagai anggota parlemen setelah masa transisi.(dwi)