Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong Dinilai Sarat Kepentingan Politik

Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong Dinilai Sarat Kepentingan Politik

Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), dan IM57+ institute mengkritik kebijakan Presiden RI, Prabowo Subianto.

Sebelumnya, ia memberikan amnesti kepada Sekjen PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk eks Menteri Perdagangan, Tom Lembong.

Ketiga lembaga tersebut menilai, harus ada ketentuan teknis yang mengatur standar pemberian, meskipun hal itu merupakan hak prerogatif presiden yang diatur konstitusi.

"Oleh sebab itu, pertimbangan pemberian abolisi dan amnesti menjadi tidak jelas dan rentan dilakukan dengan sewenang-wenang. Untuk menghindarinya, ketentuan tersebut perlu diperjelas dengan pengaturan dalam undang-undang. Kewenangan ini seharusnya tidak dilakukan secara sembarangan dan memperhatikan dampak yang lebih besar," kata peneliti ICW, Almas Sjafrina, melalui keterangan tertulis, Minggu (3/8).

Menurutnya, pemberian abolisi dan amnesti terhadap terdakwa yang kasusnya belum inkracht adalah bentuk intervensi politik penegakan hukum antikorupsi, kemudian mencederai prinsip checks and balances.

"Intervensi lembaga eksekutif terhadap lembaga yudikatif mengganggu independensi peradilan. Intervensi tersebut juga berdampak negatif terhadap pengungkapan kasus yang belum final terbukti di persidangan. Padahal, pembuktian dalam persidangan diperlukan untuk melihat terbukti atau tidaknya perbuatan terdakwa," ujarnya.

Menurutnya, adanya putusan tindak pidana korupsi dapat dijadikan dasar perbaikan legislasi, sistem, kebijakan, dan tata kelola pemerintahan ke depan.

Jadi, sangat penting untuk mengetahui titik lemah suatu sistem yang biasanya dapat terungkap dari proses pembuktian sebuah kasus di persidangan.

Hasto

Hasto Kristiyanto bebas dari Rutan KPK. (Foto: Merahputih.com/Ponco Sulaksono)

"Jika sebuah kasus “ditutup” begitu saja melalui amnesti dan abolisi seperti ini, maka proses persidangan akan dianggap hilang dan tidak pernah ada," ungkapnya.

Ia menduga, pemberian abolisi dan amnesti tidak lepas dari narasi mengenai adanya motif politik dan kejanggalan di balik proses hukum Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong.

Politisasi penegakan hukum merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan. Namun, tudingan politisasi belum terdapat bukti konkritnya.

"Dugaan ini juga perlu diuji dan ditangani dalam koridor hukum dan abolisi serta amnesti menutup ruang pembuktian tersebut," tuturnya.

Lanjut Almas, pemberian abolisi dan amnesti patut diduga sebagai upaya rekonsiliasi elit dan tukar guling dukungan politik.

Amnesti kepada Hasto yang merupakan Sekjen PDIP berbarengan dengan penyelenggaraan bimbingan teknis dan kongres ke-6 PDIP.

Lalu, keluarnya pernyataan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, mengenai dukungan terhadap pemerintahan Prabowo.

Lanjut dia, patut diduga bahwa pemberian amnesti kepada Sekjen PDIP dilatarbelakangi motif politik yang kuat.

Presiden seakan menggunakan hak prerogatif konstitusional yang umumnya digunakan dalam semangat keadilan transisional menjadi hanya sekadar alat banal untuk turut campur agenda internal sebuah partai politik.

"Jika presiden berkomitmen menjaga marwah penegakan hukum yang tegas, adil, dan bersih dari politisasi, hal yang mendesak dilakukan adalah penguatan independensi penegakan hukum dan memastikan tidak ada politisasi kasus yang dilakukan oleh aparat penegak hukum," ungkapnya.

Selain itu, perlu ada peraturan perundang-undangan yang mengejawantahkan persyaratan substansi untuk memperoleh abolisi dan amnesti.

Penyelesaian suatu perkara yang dinilai politis dengan kebijakan yang juga politis hanya akan memperburuk kualitas penegakan hukum itu sendiri. (Pon)