Kebijakan Pajak Pengaruhi Daya Saing Industri Otomotif Indonesia

Kebijakan perpajakan dinilai menjadi salah satu faktor yang menyebabkan daya saing industri otomotif nasional tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN.
Struktur pajak yang berlapis, ditambah dengan ketergantungan pemerintah daerah terhadap Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) sebagai sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD), memperlebar disparitas harga dan menghambat pertumbuhan pasar dalam negeri.
Menurut pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Parasibu, kondisi ini mencerminkan kelemahan sistem ekonomi di luar Jakarta.
Ketika PAD mayoritas daerah hanya mengandalkan PKB untuk membiayai infrastruktur dan layanan publik, dampaknya adalah tekanan pajak yang semakin berat di sisi konsumen.
“Kelemahan sistem ekonomi kita di semua wilayah kecuali Jakarta adalah ketergantungan pemerintah pusat, apalagi pemerintah daerah, pada pendapatan PKB sebagai sumber utama PAD. Hal ini turut memperburuk beban pajak,” ujarnya kepada Kompas.com, belum lama ini.
Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan bahwa beban pajak kendaraan di Indonesia memang lebih tinggi dibandingkan negara tetangga.
Pajak kendaraan di Indonesia bisa mencapai sekitar 40 persen dari harga mobil, sementara di Thailand hanya sekitar 32 persen.
Perbedaan juga terlihat pada komponen lain: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia sebesar 11 persen, sedangkan Thailand hanya 7 persen.
Cara cek pajak mobil online penting untuk diketahui sebelum membayar pajak
Selain itu, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) di Indonesia bisa mencapai 12,5 persen—pajak yang bahkan tidak dikenakan di Thailand.
Situasi ini membuat harga mobil di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan dengan kawasan ASEAN.
Yannes menegaskan, tidak adanya skema harmonisasi pajak seperti yang berlaku di negara tetangga semakin memperlebar kesenjangan.
“Inilah yang menyebabkan disparitas semakin lebar, yang pada akhirnya menghambat daya saing industri otomotif nasional dan membuat harga mobil domestik 20–40 persen lebih mahal dibandingkan negara tetangga,” ujarnya.
Dampak nyata dari kondisi tersebut terlihat pada daya beli masyarakat yang melemah.
Konsumen harus menanggung harga kendaraan yang tinggi, sementara produsen terjepit karena sulit mendorong volume penjualan di pasar yang sangat sensitif terhadap harga.
Pertumbuhan penjualan mobil di dalam negeri pun cenderung stagnan.
BYD Atto 1
Kebijakan di negara-negara ASEAN lainnya justru berjalan ke arah sebaliknya.
Thailand dan Malaysia, misalnya, menerapkan insentif pajak dan subsidi langsung yang tidak hanya meringankan beban konsumen, tetapi juga mendorong industri otomotif lokal untuk berkembang lebih cepat dan efisien.
“Ketika pasar domestik kita terbebani pajak yang terlalu tinggi, investor juga berpikir dua kali untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi. Akibatnya, kita kalah bersaing dalam menarik investasi industri otomotif skala besar,” kata Yannes.
Dengan struktur pajak yang tidak kompetitif, Indonesia berisiko terus tertinggal dari negara-negara tetangga dalam hal pengembangan industri otomotif.
Tantangan terbesar ke depan bukan hanya memperbesar PAD, tetapi juga menyeimbangkan kebutuhan fiskal pemerintah dengan daya saing industri serta keterjangkauan harga bagi konsumen.
Dengan perhatian yang lebih pada kebijakan perpajakan yang lebih baik, diharapkan industri otomotif Indonesia dapat bersaing dengan lebih efektif di pasar internasional.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.