Biaya Padamkan Karhutla Mahal, Satu Menit Penerbangan Habiskan Rp 300 Juta

Biaya Padamkan Karhutla Mahal, Satu Menit Penerbangan Habiskan Rp 300 Juta

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memastikan kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), khususnya di enam wilayah provinsi prioritas berhasil terkendali hingga awal Agustus ini yang masih puncak musim kemarau di Indonesia.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menerapkan strategi efisiensi dalam operasi udara untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di enam provinsi prioritas yang harganya mahal, per menit ratusan juta rupiah.

Kepala BNPB Suharyanto mengatakan bahwa strategi ini penting dilakukan, sehingga anggaran yang ada dapat dioptimalkan dalam sekali operasi udara menggunakan pesawat modifikasi cuaca ataupun helikopter pengeboman air (water boombing) hingga patroli.

"Kalau dihitung, satu menit penerbangan bisa menghabiskan Rp300 juta. Jadi, kami harus cermat memilih waktu dan lokasi penerbangan,” kata dia, yang ditemui seusai rapat koordinasi karhutla di Gedung Indonesia Multi Hazard Early Warning System (Ina-MHEWS), Jakarta, Selasa (12/8).

Efisiensi dilakukan dengan mengombinasikan operasi modifikasi cuaca dan water bombing menggunakan helikopter atau pesawat berkapasitas lebih kecil ketika titik api masih sedikit.

Sementara itu, tim satuan tugas penyiraman darat yang beranggotakan personel TNI/Polri, Manggala Agni Kementerian Kehutanan - kelompok masyarakat peduli api (MPA) dan tim perusahaan pemegang izin konsesi diminta segera memadamkan titik api skala kecil sebelum berkembang.

BNPB dalam penanganan karhutla tahun ini menyiagakan lebih dari 10 unit pesawat dan helikopter, yang di antaranya ada satu pesawat operasi modifikasi cuaca (OMC) ditempatkan di Provinsi Riau yang telah terbang 139 jam 17 menit sejak awal Mei.

Selain itu, BNPB menghentikan sementara operasi modifikasi cuaca di Provinsi Jambi, karena tidak ada lagi titik api dalam sepekan terakhir, dan helikopter dipindahkan ke wilayah lain yang membutuhkan, seperti Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat untuk mengantisipasi potensi kebakaran lahan baru.

Suharyanto menegaskan bahwa strategi efisiensi ini tidak berarti mengurangi kesiapsiagaan, tetapi justru menjaga keberlanjutan operasi di seluruh wilayah prioritas tanpa menguras anggaran secara berlebihan.

Hal ini dikarenakan armada udara dapat segera dipindahkan ke lokasi yang membutuhkan dalam waktu kurang dari satu hari, sesuai arahan prediksi cuaca dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

"Prinsipnya, kami ingin cepat, tepat, dan hemat. Dengan pendekatan ini, kami memastikan operasi udara tetap efektif sekaligus memberikan ruang bagi penguatan pasukan darat dan patroli pencegahan di tingkat desa," katanya.