MAKI Sebut Korupsi Kuota Haji Merugikan Negara Ratusan Miliar

MAKI Sebut Korupsi Kuota Haji Merugikan Negara Ratusan Miliar

Ketua Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi kuota haji tahun pada Kementerian Agama (Kemenag) 2023-2024 senilai Rp 691 miliar.

"Jika kuota tambahan adalah 9.222 dikalikan Rp 75 juta maka dugaan nilai pungutan liar atau korupsi adalah sebesar Rp 691 miliar," kata Boyamin kepada wartawan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (11/8).

Boyamin menjelaskan, angka kuota yang digunakan bukan 10.000 kuota haji. Sebab, sebanyak 778 kuota dialokasikan untuk petugas haji khusus.

Selain itu, Boyamin mengungkapkan, dugaan penyimpangan lain adalah dugaan mark up dari katering makanan dan penginapan hotel yang nilai kerugiannya belum bisa ditentukan.

Oleh karena itu, MAKI mendesak KPK untuk menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada kasus yang menyeret eks Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qaumas.

"Untuk melacak aliran uang dan dalam rangka memaksimalkan uang pengganti serta untuk efek jera maka wajib bagi KPK untuk menerapkan ketentuan tindak pidana pencucian uang," tuturnya.

Lebih lanjut, Boyamin menyatakan, pihaknya sudah menyampaikan salinan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan Tahun 1445 Hijriah/2024 M kepada KPK sebagai bahan penyidikan.

"SK Menteri Agama tersebut yang mendasari pembagian kuota haji khusus yang mencapai 50 persen dari kuota tambahan 20.000, yakni 10.000 untuk haji khusus atau haji plus,” ujarnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memulai penyidikan perkara dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023-2024.

Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan KPK telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum terkait perkara tersebut.

“Dengan pengenaan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” katanya. (Pon)