Anak Menyerap Konflik Politik, Ini Cara Menjelaskannya Menurut Psikolog

Situasi sosial-politik di Indonesia belakangan ini tengah memanas.
Meski terlihat sebagai ranah orang dewasa, faktanya anak-anak juga ikut terpapar.
Mereka bisa menyerap ekspresi kemarahan, kata-kata kasar, bahkan perilaku yang tidak pantas dicontoh.
Psikolog Anak dan Remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., menekankan pentingnya peran orangtua dalam mendampingi anak saat menghadapi situasi tersebut.
Orangtua perlu memberi penjelasan dengan bahasa sederhana agar anak tidak meniru hal negatif, melainkan bisa mengambil pelajaran positif.
Cara menjelaskan konflik politik kepada anak
Di tengah gejolak politik, anak-anak lebih mudah menangkap momen kericuhan, mulai dari teriakan hingga pertengkaran. Di sinilah orangtua berperan untuk memberi pemahaman.
“Pertama, validasi dulu perasaan anak. Misalnya dengan mengatakan: ‘Kamu takut ya lihat orang marah-marah?’” ujar Vera saat dihubungi Kompas.com, baru-baru ini.
Setelah itu, jelaskan dengan bahasa sederhana: “Kadang orang dewasa marah karena berbeda pendapat, tapi bukan berarti cara marah seperti itu benar.”
Terakhir, beri alternatif positif. “Sampaikan pada anak bahwa kalau berbeda pendapat, kita bisa bicara dengan tenang dan saling mendengarkan,” tutur Vera.
Dengan pendampingan yang tepat, anak bisa belajar bahwa konflik tidak harus berujung pada kekerasan.
Sebaliknya, mereka bisa memahami pentingnya komunikasi sehat dan sikap empati.
Pentingnya pendidikan budi pekerti sejak dini
Menurut Vera, pendidikan budi pekerti merupakan dasar perilaku yang membentuk karakter anak.
nilai seperti empati, sopan santun, dan tanggung jawab sebaiknya diperkenalkan sejak kecil.
“Anak yang dibiasakan mengenal empati akan tumbuh lebih peka dan rendah hati. Tanpa itu, mereka mudah terjebak pada sikap arogan karena merasa dunia berpusat pada dirinya,” jelas Vera.
Melalui budi pekerti, anak belajar bahwa setiap tindakan memiliki dampak pada orang lain.
Kesadaran inilah yang menumbuhkan empati serta rasa tanggung jawab sosial.
Cara sederhana menumbuhkan empati di rumah
Orangtua dapat menanamkan sikap empati lewat kebiasaan sehari-hari.
Caranya antara lain dengan memperlakukan anak secara empatik, memberi atensi, serta memahami perasaan mereka.
“Misalnya, ketika anak tidak suka makan sayur, orangtua bisa mengatakan: ‘Bunda tahu kamu tidak suka rasanya, tapi ini bisa membuat tulangmu kuat. Yuk, makan sedikit dulu.’” kata Vera.
Selain itu, anak juga bisa dilatih untuk berbagi, baik mainan dengan saudaranya maupun makanan dengan asisten rumah tangga.
Mengajak anak memahami perasaan orang lain, seperti memeluk adik yang sedang sedih, juga menjadi bentuk latihan empati.
“Jangan lupa beri contoh nyata. Saat orangtua menyapa satpam dengan ramah atau membantu tetangga, anak akan melihat dan menirunya,” tambah Vera.
Menjaga optimisme di tengah keresahan sosial-politik
Vera memahami, banyak orangtua merasa resah dengan kondisi bangsa.
Namun, anak sebenarnya membutuhkan harapan dari orangtuanya, bukan kecemasan.
“Daripada menularkan rasa galau, lebih baik fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan di rumah, seperti mendidik anak menjadi individu yang berintegritas, jujur, dan peduli,” jelasnya.
Ia menegaskan, perubahan besar kerap bermula dari lingkup kecil, yaitu keluarga.
Dampak jika anak tumbuh tanpa empati
Anak yang tidak diperkenalkan dengan empati sejak dini berisiko tumbuh menjadi pribadi egois, sulit membangun hubungan sehat, bahkan bisa cenderung agresif.
“Dalam jangka panjang, mereka mungkin kesulitan bekerja sama, sulit dipercaya, dan rawan mengambil keputusan yang merugikan orang lain,” kata Vera.
Empati, menurutnya, adalah keterampilan sosial sekaligus modal moral penting bagi keberhasilan hidup.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.