Google Selamat dari Ancaman Hukuman Terberat, Chrome Batal Dijual

Google selamat dari ancaman hukuman terberat dalam kasus monopoli (antritrust) mesin pencari. Hakim Federal Amit Mehta resmi memutuskan bahwa perusahaan tidak perlu menjual browser Chrome atau sistem operasi Android mereka.
Sebelumnya, pada Agustus 2024, Pengadilan Distrik Columbia menyatakan bahwa Google melanggar Pasal 2 Sherman Act dan telah memonopoli pasar pencarian internet dan iklan selama bertahun-tahun.
Saat itu, opsi penyelesaian yang ditawarkan oleh Departemen Kehakiman (Department of Justice/DOJ) AS kepada Google adalah memaksa Google untuk memecah (divestasi) bisnis intinya, seperti sistem operasi Android dan peramban web Google Chrome. Kini opsi tersebut dibatalkan.
"Google tidak akan diwajibkan untuk mendivestasi Chrome; pengadilan juga tidak akan memasukkan divestasi bersyarat sistem operasi Android dalam putusan akhir," demikian bunyi putusan Mehta, sebagaimana dikutip KompasTekno dari Gizmodo, Jumat (5/9/3035).
Mehta menilai, permintaan yang diajukan Pengadilan untuk memaksa divestasi bisnis Google terlalu berlebihan. Menurutnya, langkah tersebut tidak relevan dengan fokus kasus yang hanya menyangkut distribusi Search Engine Google.
Selain itu, Google Chrome sendiri juga merupakan salah satu produk andalan Google di mana total penggunanya sendiri mencapai 3,5 miliar pengguna. Angka ini terbilang besar, mengingat populasi manusia di dunia hanya sekitar 8,1 miliar orang.
Berdasarkan laporan GS Stats Counter, per Agustus 2025, Chrome menjadi borwser dengan pangsa pasar paling besar di dunia.
Chrome menguasai 69,23 persen pangsa pasar, mengungguli Safari (14,98 persen), Edge (5,03 persen), Firefox (2,26 persen), Samsung Internet (1,97 persen), dan Opera (1,85 persen).
Saham induk Google dan Apple naik
Adapun keputusan hakim yang menolak usulan DOJ untuk memaksa divestasi bisnis tersebut membuat saham Alphabet (induk Google) melonjak hingga delapan persen pada perdagangan setelah jam bursa.
Pada hari Selasa, saham Apple bahkan ikut tercatat naik sekitar empat persen. Hal ini diperkirakan terjadi karena kesepakatan distribusi Google Search di perangkat iPhone milik Apple tetap berjalan meskipun aturan ekslusivitasnya dihapus.
Hakim Mehta, yang mengawasi persidangan ini, sudah memerintahkan para pihak (Google dan pemerintah AS) untuk bertemu dan mendiskusikan putusan ini paling lambat tanggal 10 September 2025.
Selamat, tapi harus bagi data
Google Search di peramban/browser Safari iPhone.
Meski selamat dari ancaman hukuman paling berat, Google diminta untuk menjalankan sejumlah aturan baru, yaitu berbagi data pencarian dengan perusahaan pesaing yang memenuhi syarat.
Data yang harus dibagikan meliputi indeks pencarian dan interaksi pengguna. Khusus untuk aturan batasan indeks pencarian, hakim memastikan agar data iklan tidak termasuk dalam kewajiban ini.
Putusan yang sama juga mencakup larangan supaya Google tidak membuat perjanjian ekslusif untuk distribusi Google Search, Google Chrome, Google Assistant, dan aplikasi Gemini AI.
Larangan ini dibuat agar Google tidak lagi mengikat mitra bisnis dengan kesepakatan penuh, yang berpotensi menutup peluang persaingan bisnis.
Walaupun, pada putusan tersebut dinyatakan bahwa Google masih boleh membayar mitra untuk pra-instalasi atau penempatan produk mereka.
Hal ini masih diizinkan asalkan kontraknya tidak bersifat ekslusif seperti yang disebutkan di atas.
Menurut pengadilan, jika Google dilarang membayar mitranya sama sekali jelas akan menimbulkan kerugian besar.
Dalam beberapa kasus, dampaknya bahkan bisa melumpuhkan mitra distribusi, pasar, hingga konsumen terkait.
Untuk diketahui, selama ini Google membayar Apple sebanyak miliaran dolar per tahun agar mesin pencariannya menjadi default di ponsel iPhone.
Skema tersebut dinilai sangat menguntungkan Apple dan Google. Sebab, bisa mendapatkan lebih banyak volume pencarian dan pengguna di berbagai jenis perangkat ponsel.
Repons Google dan perusahaan pesaing
Google menanggapi keputusan pengadilan lewat sebuah pernyataan resmi di blog perusahaan. Dalam pernyatan tersebut, Google mengatakan bahwa pihaknya masih akan meninjau lebih detail soal permintaan pengadilan.
Pasalnya, aturan baru yang meminta Google membagikan data pencarian dengan perusahaan pesaing dinilai bisa memengaruhi kepercayaan pengguna soal privasi data mereka. Google sendiri mengaku khawatir akan persyaratan tersebut.
"Kami khawatir tentang bagaimana persyaratan ini akan memengaruhi pengguna dan privasi mereka, dan kami sedang meninjau keputusan tersebut dengan saksama," tulis Google.
Kendati demikian, Google menyambut baik keputusan hakim yang tidak jadi memaksa mereka menjual peramban web Google Chrome dan sistem operasi Android mereka.
Sebab menurut Google, langkah divestasi seperti itu bisa melampaui fokus perkara dan merugikan konsumen serta mitra bisnis perusahaan.
Di sisi lain, perusahaan pesaing Google, DuckDuckGo, mengaku tidak puas dengan putusan pengadilan tersebut. Kepada media teknologi Gizmodo, perusahaan menilai hukuman ini masih terlalu ringan.
Menurut mereka, tanpa tindakan yang lebih tegas, dominasi Google di pasar mesin pencari internet masih sulit digoyahkan. DuckDuckGo merasa tidak yakin bahwa upaya hukum yang diperintahkan pengadilan akan membuahkan hasil
"Google masih akan diizinkan untuk terus menggunakan monopolinya untuk menghambat para pesaing, termasuk dalam pencarian AI," ujar juru bicara DuckDuckGo kepada Gizmodo melalui e-mail pada hari Selasa.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.