OpenAI dan Perusahaan AI Lain Incar Google Chrome, Apa Untung Ruginya Bagi Pengguna?

Ilustrasi Google Chrome, Kenapa Google Bisa Diminta Jual Chrome?, Perplexity Tawarkan Rp562 Triliun untuk Chrome, Kenapa Perusahaan AI Tertarik Punya Browser Sendiri?, Apa Dampaknya Bagi Pengguna?, Masa Depan Browser di Era AI
Ilustrasi Google Chrome

Google Chrome, peramban (browser) yang sudah 17 tahun mendominasi pasar global, kini berada di persimpangan jalan. Di tengah gugatan antitrust yang dialami Google di Amerika Serikat, muncul wacana bahwa raksasa teknologi ini bisa dipaksa untuk melepaskan salah satu aset paling berharganya. Menariknya, sejumlah perusahaan AI besar seperti OpenAI dan Perplexity terang-terangan menunjukkan minat untuk mengakuisisi Chrome jika benar-benar dijual.

Kenapa Google Bisa Diminta Jual Chrome?

Pertanyaan utama tentu, apakah Google benar-benar mau menjual Chrome? Secara bisnis, ini terdengar mustahil. Chrome menguasai lebih dari 60% pangsa pasar browser global, menjadikannya pintu utama ke mesin pencari Google dan iklan digitalnya.

Namun, gugatan dari Departemen Kehakiman AS menyatakan Google telah melanggar undang-undang antitrust dengan memonopoli iklan digital. Salah satu “obat” yang ditawarkan regulator adalah melepaskan Chrome agar persaingan lebih sehat. 

Meski begitu, sejumlah pakar menilai sangat kecil kemungkinan Google secara sukarela menjual browser ini. Menurut analis Thomas Randall, “Google Chrome isn’t for sale,” karena perangkat lunak Chrome berbasis open-source, sementara merek dan distribusinya tetap milik Google.

Perplexity Tawarkan Rp562 Triliun untuk Chrome

Salah satu yang cukup mengejutkan adalah langkah Perplexity, perusahaan AI yang dikenal lewat mesin pencari berbasis AI. Mereka dikabarkan mengajukan tawaran senilai $34,5 miliar atau sekitar Rp562 triliun untuk membeli Chrome, seperti dilansir dari Tom’s Guide. 

Menariknya, tawaran ini muncul menjelang peluncuran browser baru milik Perplexity sendiri bernama Comet. Jadi, mengapa mereka ingin membeli Chrome jika sudah punya browser? Jawabannya sederhana: distribusi pengguna.

Dengan membeli Chrome, Perplexity tidak perlu bersusah payah membujuk miliaran pengguna berpindah, karena mereka otomatis sudah mendapatkan basis pengguna yang ada.

Namun, sebagian pihak menilai tawaran Perplexity terlalu rendah. Mark Weinstein, pakar privasi digital, menyebut harga wajar Chrome bisa mencapai $340 miliar atau lebih dari Rp5.500 triliun, mengingat nilai data miliaran pengguna yang melekat di dalamnya.

Kenapa Perusahaan AI Tertarik Punya Browser Sendiri?

Menurut Chris Ferris dari Pierpont Communications, salah satu rahasia kesuksesan Google adalah karena fungsi pencarian terintegrasi di Chrome. Jika perusahaan AI memiliki browser, mereka bisa mengubah kolom alamat menjadi semacam kotak pertanyaan AI.

Andrew Gamino-Cheong, co-founder Trustible, menambahkan ada tiga alasan utama perusahaan AI ingin punya browser:

  1. Integrasi AI agent lebih mudah dengan akun pengguna.
  2. Menghindari hambatan anti-scraping di berbagai situs.
  3. Bisa mengidentifikasi apakah sebuah teks ditulis manusia atau AI.

Dengan begitu, data yang terkumpul dari browser bukan sekadar statistik perilaku, tapi bisa berupa konten mentah yang sangat berharga untuk melatih model AI.

Apa Dampaknya Bagi Pengguna?

Bagi pengguna biasa, kepemilikan Chrome oleh perusahaan AI bisa membawa keuntungan maupun risiko. Keuntungannya, pengalaman menggunakan AI akan lebih mulus, misalnya login otomatis ke layanan tertentu saat AI menjalankan tugas.

Namun, di sisi lain, risiko privasi juga meningkat. Browser AI berpotensi mengetahui lebih banyak tentang pengguna dibandingkan negara atau lembaga intelijen manapun. “Google sudah menggunakan AI. Bedanya, nanti data berpindah ke pemain lain,” jelas Weinstein.

Masa Depan Browser di Era AI

Sebagian pakar percaya AI justru bisa membuat browser tradisional kurang relevan. Jika AI bisa langsung menjawab pertanyaan tanpa perlu membuka banyak tab, maka fungsi browser akan lebih ke “mesin di balik layar” ketimbang antarmuka utama.

Meski begitu, VC Nick Davidov menilai browser tidak akan punah. Sebaliknya, akan lahir generasi AI browser yang lebih personal, menyesuaikan preferensi pengguna di seluruh web.

Sementara itu, Jad Tarifi, pionir AI di Google, menyamakan evolusi ini dengan transisi dari MS-DOS ke Windows: dari teks sederhana menuju antarmuka multimodal yang lebih interaktif dan imersif.

Apakah Google benar-benar akan melepas Chrome? Jawabannya masih penuh ketidakpastian. Namun, jika sampai terjadi, perusahaan seperti OpenAI atau Perplexity bisa mengubah wajah internet dengan menjadikan browser sebagai pintu gerbang utama AI.