Kata Armuji soal Royalti Lagu...

Surabaya, Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, LMKN, royalti lagu, Wakil Wali Kota Armuji, royalti lagu adalah, Kata Armuji soal Royalti Lagu...

Kebijakan penarikan royalti lagu untuk hotel, restoran, hingga bus menuai tanggapan dari beragam pihak, salah satunya Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji.

Menurutnya, aturan tersebut justru berpotensi merugikan para musisi itu sendiri.

“Saya kira royalti lagu ini, mereka sesama penyanyi saja masih beda pendapat. Ada yang membolehkan, ada yang tidak. Ini terjadi selang pendapat,” ujar Armuji, yang akrab disapa Cak Ji, dikutip , Rabu (21/8/2025).

Ia menilai, apabila ada musisi yang melarang karyanya diputar di ruang publik, hal itu bisa menjadi bumerang dan berdampak buruk bagi popularitas mereka sendiri.

Sebab, banyak pengelola hotel, restoran, hingga bus berpotensi memboikot lagu-lagu yang dianggap memberatkan.

“Justru ini menguntungkan bagi mereka yang tidak pro royalti, dipersilakan untuk membawakan lagu-lagunya, kan begitu,” tuturnya.

Meski begitu, Cak Ji menyebutkan masih wajar bila lagu yang tengah populer dikenakan royalti dalam jangka waktu tertentu.

“Misalnya, hitsnya 5–6 bulan mencapai puncaknya itu mungkin (wajar) yang dikenakan royalti, tapi kalau sudah tidak hits, lalu mereka mengenakan royalti, ya orang ya malas, nyari yang enggak kena royalti aja,” jelasnya.

Ia menambahkan, seharusnya kebijakan ini tidak memberatkan pihak hotel maupun restoran, sebab masih ada banyak alternatif lagu yang bebas diputar tanpa kewajiban royalti.

“Mereka juga membawakan lagu-lagu yang lainnya kok. Lagu-lagu barat juga enggak ada masalah. Yang rugi malah penciptanya sendiri karena lagu mereka mungkin bisa diboikot itu nanti,” pungkasnya.

PHRI Jatim: Hotel dan restoran terkena dampak

Sementara itu, kebijakan penarikan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, menimbulkan pro dan kontra di kalangan pelaku usaha.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Timur, Dwi Cahyono, menyebut penerapan royalti lagu sebenarnya telah berlangsung sejak dua tahun terakhir.

Awalnya, kewajiban itu hanya menyasar hotel berbintang lima, namun kini meluas ke hotel bintang tiga dan empat di berbagai kota, termasuk Malang, Batu, Surabaya, hingga Banyuwangi.

“Sebetulnya sudah 2 tahun ini sudah masuk (tagihan). Tapi tertentu saja, seperti bintang 5, sekarang semuanya,” ungkap Dwi.

Menurutnya, saat ini hampir separuh lebih hotel dan restoran di Jawa Timur terdampak kebijakan tersebut.

“Sekarang hampir 50 persen lebih hotel dan resto terdampak. Restoran tergambar paling besar terus lobby di Family Hotel dan Business Hotel yang punya kafe,” ujarnya.

Penjelasan LMKN

Sebelumnya, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Dharma Oratmangun menyayangkan munculnya narasi yang menyebutkan, kewajiban membayar royalti dapat mematikan pelaku usaha kecil seperti kafe dan restoran.

Dharma mengatakan, sebelum menyebarkan narasi semacam itu, pelaku usaha memahami terlebih dahulu aturan dan Undang-Undang yang berlaku.

"Ada narasi yang sengaja dibangun keliru, seakan-akan (kami) mau mematikan kafe. Itu keliru sekali, karena dia enggak baca aturannya, enggak baca Undang-Undang," ujarnya, dikutip , Senin (4/8/2025).

"Bahkan belum bayar, sudah kembangkan narasi seperti itu," imbuhnya.

Dharma menegaskan, membayar royalti adalah bentuk penghargaan terhadap hak cipta, sebagaimana diatur dalam UU Hak Cipta.

"Harus bayar dong, itu ada hak pencipta, itu UU. Bagaimana kita pakai sebagai menu (hiburan) tapi enggak mau bayar? Jangan bangun narasi mau putar rekaman suara burung, suara alam, seolah-olah itu solusi," katanya lagi.

Menurutnya, suara alam atau kiauan burung tetap dapat dikenai royalti.

Hal yang sama berlaku bagi pemutara lagu-lagu internasional.

"Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fenogram tersebut. Jadi tetap harus dibayar. Ada hak terkait di situ, ada produser yang merekam," ungkapnya.

"Harus bayar juga kalau pakai lagu luar negeri. Kita terikat perjanjian internasional. Kita punya kerja sama dengan luar negeri dan kita juga membayar ke sana," paparnya.

Perlu diketahui, tarif royalti untuk pemanfaatan musik secara komersial di restoran dan kade diatur dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Tekait Musik dan Lagu Kategori Restoran.

Berdasarkan aturan itu, pelaku usaha wajib membayar royalti pencipta sebesar Rp 60.000 per kursi per tahun dan royalti hak terkait sebesar Rp 60.000 per kursi per tahun.

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!