Kisah Arcandra Tahar: Menteri ESDM Tersingkat di Era Jokowi yang Sempat Jadi 'Stateless'

— Arcandra Tahar pernah mencatat sejarah sebagai menteri paling singkat di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Ia menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hanya selama 20 hari sebelum akhirnya diberhentikan karena persoalan kewarganegaraan.
Arcandra dilantik pada 27 Juli 2016 menggantikan Sudirman Said dalam reshuffle kabinet. Penunjukannya kala itu mengejutkan banyak pihak, termasuk dirinya sendiri. Ia mengaku sebelumnya hanya menjadi teman diskusi Presiden Jokowi.
Namun belum genap satu bulan menjabat, publik dihebohkan oleh kabar bahwa Arcandra memiliki paspor Amerika Serikat. Polemik pun muncul karena Indonesia tidak mengenal sistem kewarganegaraan ganda. Kasus ini membuat statusnya sebagai WNI dipertanyakan.
Presiden Jokowi pun mengambil keputusan cepat. Pada Senin malam, 15 Agustus 2016, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengumumkan pemberhentian Arcandra secara resmi.
“Menyikapi status kewarganegaraan Menteri ESDM, setelah mendengar dari berbagai sumber, Presiden memutuskan untuk memberhentikan dengan hormat Saudara Arcandra Tahar dari posisi Menteri ESDM,” ujar Pratikno dalam konferensi pers di Istana.
Sebagai pelaksana tugas Menteri ESDM, Presiden menunjuk Menko Kemaritiman saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan.
Isu kewarganegaraan Arcandra mencuat setelah diketahui bahwa ia telah menjadi warga negara Amerika Serikat melalui proses naturalisasi dan mengucap sumpah setia pada Maret 2012. Sejak itu, secara hukum, status WNI-nya otomatis gugur sesuai Pasal 23 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Bahkan, sebelum resmi menjadi warga negara AS, pada Februari 2012, Arcandra masih sempat mengurus paspor RI di Konsulat Jenderal RI di Houston. Setelah menjadi WN AS, ia tercatat empat kali masuk Indonesia menggunakan paspor AS. Ironisnya, saat dilantik menjadi menteri, ia kembali memakai paspor RI—yang seharusnya tak lagi berlaku.
Tindakannya itu dianggap melanggar beberapa regulasi, termasuk UU Keimigrasian No. 6 Tahun 2011, UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006, dan UU Kementerian Negara No. 39 Tahun 2008.
Akibat kontroversi ini, Arcandra sempat menyandang status "stateless", karena selain kehilangan kewarganegaraan Indonesia, status kewarganegaraan Amerika Serikat-nya juga dicabut. Pemerintah AS menilai jabatannya sebagai pejabat publik di Indonesia telah melanggar ketentuan imigrasi mereka.
Namun status itu tak berlangsung lama. Pemerintah Indonesia akhirnya mengembalikan kewarganegaraan Arcandra melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-1.AH.10.01 Tahun 2016.
Bukan Kasus Pertama
Meski mencuat, kisah Arcandra bukan satu-satunya yang terkait dengan kehilangan status kewarganegaraan. Pada 2025, kasus serupa terjadi pada eks marinir TNI AL, Satria Arta Kumbara, yang diketahui bergabung dengan militer Rusia tanpa izin Presiden RI.
Dalam video yang beredar luas, Satria menjelaskan alasannya:
“Saya niatkan datang ke sini (Rusia) hanya untuk mencari nafkah. Wakafa Billahi, cukuplah Allah sebagai saksi,” kata Satria dalam video yang diunggah ke TikTok @zstorm689, Minggu (20/7/2025).
Tindakannya membuat kewarganegaraannya otomatis gugur berdasarkan Pasal 23 huruf d dan e UU Nomor 12 Tahun 2006, karena masuk dinas militer asing tanpa izin Presiden.
Hal itu ditegaskan oleh Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas:
“Kalau dia tidak punya izin, maka otomatis status kewarganegaraannya hilang,” ujar Supratman, Rabu (14/5/2025).
Masih Bisa Jadi WNI Lagi?
Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, peluang Satria untuk kembali menjadi WNI tetap terbuka, sebagaimana yang pernah dialami Arcandra Tahar.
“Bisa saja sih untuk dikembalikan menjadi WNI. Arcandra saja dulu bisa kok dari warga negara AS menjadi WNI,” kata Hikmahanto, Selasa (22/7/2025).
“Yang penting dia pulang dan tidak terus sebagai tentara bayaran Rusia,” tambahnya.
Dengan demikian, kisah Arcandra Tahar menjadi pengingat pentingnya transparansi dalam urusan kewarganegaraan—terutama saat menduduki jabatan publik tertinggi di pemerintahan.