Pakar Hukum Tata Negara: Penonaktifan Anggota DPR Hanya Manuver Politik, Status Mereka Masih Sah

Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio dan Uya Kuya.
Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio dan Uya Kuya.

 Gelombang kemarahan publik yang meledak usai pernyataan kontroversial sejumlah anggota DPR RI membuat partai politik bergerak cepat. Lima nama populer seperti Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, hingga Adies Kadir diumumkan nonaktif dari jabatannya di Senayan.

Langkah ini seolah menjadi jawaban atas tuntutan masyarakat yang menilai DPR semakin jauh dari amanah rakyat.

Namun di balik sorotan publik, muncul pertanyaan besar: apakah status nonaktif itu benar-benar menggugurkan keanggotaan DPR? Ataukah hanya sebatas manuver politik untuk meredam situasi

Pakar hukum tata negara memberi penjelasan gamblang soal celah hukum yang membuat status anggota dewan tetap melekat, meski partai sudah menyatakan menonaktifkan mereka.

Pakar hukum tata negara Feri Amsori menilai, penonaktifan tersebut pada dasarnya hanyalah respon politis untuk meredam situasi panas, bukan langkah yang memberi kepastian hukum.

"Istilah menonaktifkan pada dasarnya tidak terdapat di dalam ketentuan undang-undang. Yang ada adalah istilah diberhentikan, mengundurkan diri, atau meninggal dunia yang kemudian akan berujung kepada pergantian antar waktu atau PAW anggota dewan. Nah, istilah menonaktifkan itu sendiri pada dasarnya cukup rancu, karena apakah dengan itu berarti bisa diaktifkan kembali,” ujar Feri dikutip tvOne, Senin 1 September 2025.

Feri menilai meskipun status nonaktif, akan tetapi belum memberikan kepastian hukum dan tidak menghilangkan gaji atau tunjangan yang diterima anggota DPR tersebut.

“Respon menonaktifkan adalah respon politis yang baik saja, karena untuk meredam suasana sehingga kemudian dilakukan pilihan-pilihan tersebut. Tapi kalau bicara hukum, apakah itu menimbulkan kepastian dan berpotensi ada proses pergantian waktu? Saya pikir belum," sambungnya.

Meski dinyatakan nonaktif oleh partai politik, status anggota DPR masih tetap melekat, artinya penonaktifan tidak otomatis menggugurkan status anggota DPR. Proses resmi hanya bisa dilakukan lewat mekanisme PAW.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Titi Anggraini, juga menegaskan hal serupa. Menurutnya, keputusan partai politik untuk menonaktifkan kadernya di parlemen hanyalah urusan internal partai dan fraksi, bukan penggugur keanggotaan di DPR.

“Dari sisi hukum, mereka tetap berstatus anggota DPR sampai ada PAW (Penggantian antarwaktu) yang bisa dilakukan setelah ada pemberhentian antarwaktu yang disampaikan pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR,” kata Titi, Senin 1 September 2025.

Titi menambahkan, istilah nonaktif memang ada dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Namun, penggunaannya terbatas hanya untuk pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang menjalani pemeriksaan, bukan untuk anggota DPR secara umum.

Presiden Prabowo Subianto bersama pimpinan partai politik disebut tengah berupaya meredakan gejolak di masyarakat. Beberapa langkah yang ditempuh antara lain mencabut kebijakan DPR terkait besaran tunjangan anggota, memberlakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri, serta mengumumkan penonaktifan anggota DPR yang dinilai memicu kemarahan publik.