Insentif Mobil Listrik Berakhir, Pemerintah Panen Pajak, Konsumen Siap Bayar Lebih?

(ILustrasi) Pilihan mobil listrik dengan jarak tempuh 400 Km
Pemerintah memastikan fasilitas insentif impor mobil listrik utuh (CBU) akan berakhir pada 31 Desember 2025, sesuai Peraturan Menteri Investasi No. 6/2023 jo No. 1/2024.
Hingga saat ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut belum mengadakan pembahasan lanjutan. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (ILMATAP).
"Sampai dengan hari ini, kami informasikan kepada teman-teman semua, kami belum ada sama sekali rapat dengan kementerian/lembaga lain terkait keberlanjutan insentif ini," ungkap Mahardi Tunggul Wicaksono, Direktur ILMATAP Kemenperin.
Bagi konsumen, pertanyaannya sederhana. Apakah harga mobil listrik bakal naik?
Tanpa insentif, mobil impor bisa dikenakan PPN dan PPnBM sekitar 10-15 persen. Dengan harga rata-rata Rp 350 juta per unit, tambahan beban ini bisa membuat harga jual naik Rp 35 juta hingga Rp 50 juta per mobil.
Di sisi lain, skema insentif ini sejak awal memang bukan tanpa syarat. Produsen penerima fasilitas wajib menyerahkan bank garansi dan berkomitmen memproduksi lokal dengan rasio 1:1.
Jika gagal, bank garansi hangus diserap negara. Hingga kini, enam produsen terlibat dengan total investasi Rp 15,5 triliun dan kapasitas produksi 305.000 unit per tahun.
Namun, tak semua pabrik siap beroperasi sebelum tenggat. Progres pembangunan pabrik BYD baru 45 persen per Mei 2025, sementara VinFast sudah 77 persen per Agustus.

Ada 6 pabrikan yang ikut program insentif impor mobil listrik
Adapun Geely dan Xpeng masih mengandalkan assembler lokal yakni di PT Handal Indonesia Motor.
Begitupun GWM yang bertahap dirakit lokal oleh PT Inchcape Indomobil Energi Baru, sebelumnya dikenal sebagai fasilitas perakitan mobil Mercedes-Benz di Wanaherang Bogor.
Kondisi ini membuat sebagian produsen asal Tiongkok berpotensi terdampak langsung jika harus menanggung harga lebih mahal untuk konsumen.
Bagi pemerintah, berakhirnya insentif justru bisa menjadi peluang fiskal. Sepanjang Januari-Juli 2025 saja, penjualan mobil listrik dari produsen peserta insentif mencapai 28.257 unit atau 68 persen pasar nasional.
Jika dikalikan dengan rata-rata harga Rp 350 juta per unit, potensi penerimaan pajak yang semula ditangguhkan bisa mencapai Rp 989 miliar hingga Rp 1,4 triliun.
Dari perspektif konsumen, dilema ini berarti kemungkinan harga mobil listrik impor yang belum diproduksi lokal bakal terdampak. Sementara model yang sudah dirakit di Indonesia bisa lebih stabil.
Intinya kedepan, pembeli tampaknyaharus cermat membedakan apakah mobil listrik yang mereka incar termasuk rakitan lokal atau masih impor, karena di situlah selisih harga bisa muncul.