Segini Potensi Kerugian Negara dari Impor Mobil Listrik CBU

Arus masuk mobil listrik dalam bentuk completely built up (CBU) semakin deras dan berpotensi menggerus penerimaan negara.
Meski pemerintah gencar mendorong elektrifikasi kendaraan, dominasi mobil impor justru menimbulkan risiko fiskal karena minimnya aktivitas produksi dalam negeri yang bisa menyumbang pajak sekaligus menciptakan lapangan kerja.
Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan, pangsa pasar mobil CBU di Indonesia naik dari 10 persen pada 2023 menjadi 13 persen pada 2024, lalu melonjak menjadi 18 persen sepanjang Januari–Juli 2025.
BYD Zhengzhou, kapal khusus pengangkut kendaraan milik BYD
Dari angka itu, segmen mobil penumpang listrik murni atau battery electric vehicle (CBU PC BEV) menjadi penyumbang utama lonjakan.
Pada 2023, impor CBU PC BEV hanya 2.700 unit. Setahun kemudian, volumenya melejit hampir tujuh kali lipat menjadi 19.000 unit.
Tren itu berlanjut hingga 2025, di mana dalam tujuh bulan pertama saja sudah tercatat 29.100 unit atau 62 persen dari total impor CBU mobil penumpang.
Banjir impor tersebut tak lepas dari kebijakan pemerintah yang memberikan fasilitas pembebasan bea masuk untuk mobil listrik utuh melalui Peraturan Menteri Investasi Nomor 6 Tahun 2023 junto Nomor 1 Tahun 2024.
Insentif ini berlaku hingga Desember 2025. Sebagai kompensasi, mulai 2026 produsen diwajibkan membangun fasilitas produksi lokal dengan rasio 1:1 terhadap jumlah kendaraan yang telah diimpor.
Namun, lonjakan impor justru memperbesar potensi kerugian negara. Dengan asumsi harga rata-rata Rp 500 juta per unit, nilai impor sepanjang tujuh bulan pertama 2025 mencapai Rp 14,5 triliun.
Kapal kargo VinFast Silver Queen
Angka sebesar itu sepenuhnya mengalir ke luar negeri tanpa kontribusi berarti terhadap industri dalam negeri.
Padahal, jika mobil listrik diproduksi di Indonesia, pemerintah bisa memperoleh PPN 11 persen setara Rp 1,59 triliun hanya dari transaksi tersebut.
Ini belum termasuk potensi pajak lain, seperti PPh badan hingga retribusi industri turunan.
Pengamat otomotif dari LPEM UI, Riyanto, menilai insentif impor BEV sebaiknya tidak diperpanjang setelah 2025.
“Dampak ekonominya (dari impor mobil listrik) hanya pada perdagangan. Tidak ada multiplier effect yang lebih tinggi di dalam negeri. Kemudian, bagi yang sudah bikin pabrik, pasti utilisasinya tertekan. Tidak optimal,” ujarnya belum lama ini.
Kekhawatiran serupa disampaikan Gaikindo. Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, menyebutkan utilisasi industri otomotif nasional turun dari 73 persen menjadi 55 persen tahun ini, salah satunya akibat derasnya arus impor mobil listrik.
“Banyak perusahaan komponen mengeluh karena suplai ke pabrikan berkurang. Untung masih ada ekspor, sehingga bisa berjalan,” katanya.
PT Indomobil Sukses Internasional Tbk (IMAS) secara resmi telah menyelesaikan pembangunan fasilitas pabrik perakitan baru khusus kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) yang berlokasi di Purwakarta, Jawa Barat di bawah naungan PT National Assemblers, Selasa (10/6/2025).
Di sisi lain, sejumlah produsen mobil listrik dunia memang sudah mengumumkan komitmen investasi besar di Indonesia.
BYD, VinFast, Geely, hingga GWM Ora tercatat akan menanamkan modal senilai total Rp 15,52 triliun dengan kapasitas produksi 305.000 unit per tahun. Namun, realisasi pembangunan pabrik belum sepenuhnya rampung.
Hingga pertengahan 2025, BYD dilaporkan baru menyelesaikan 45 persen pembangunan fasilitas produksi dengan nilai investasi Rp 11,26 triliun. Sementara VinFast, dari komitmen Rp 3,5 triliun, baru mencapai progres 77 persen.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!