BYD, Wuling, dan Mobil China: Strategi Penurunan Harga di Indonesia

Gempuran mobil-mobil China ke pasar otomotif Indonesia semakin terasa, terutama di segmen menengah dengan rentang harga Rp 200 juta hingga Rp 500 juta.
Merek seperti BYD, Wuling, Geely, Chery, Neta, MG, Jetour, hingga BAIC mulai tampil agresif dengan strategi utama berupa penurunan harga secara sistemik dan penawaran fitur melimpah.
Menurut Yannes Martinus Pasaribu, pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), strategi ini bukan langkah spontan, melainkan bentuk upaya serius dan jangka panjang untuk menantang dominasi Jepang dan Korea di segmen kendaraan paling gemuk di Indonesia.
“Strategi penurunan harga merek mobil China di Indonesia tampaknya merupakan upaya sistemik untuk menantang dominasi merek Jepang dan Korea di segmen menengah,” kata Yannes kepada Kompas.com, belum lama ini.
Segmen ini mencakup model-model populer seperti Toyota Avanza, Honda BR-V, Hyundai Creta, dan Honda HR-V, yang selama ini menguasai pilihan konsumen kelas menengah.
Namun kini, bahkan segmen LCGC juga dibidik dengan hadirnya BYD Seagull yang dijual dengan harga mulai dari Rp 125 juta.
Wuling sudah mencatat bukti keberhasilan strategi tersebut.
Geely Auto Indonesia resmi menjalin kerja sama strategis dengan Voltron, penyedia jaringan stasiun pengisian daya (charging station) kendaraan listrik di Indonesia.
Dalam lima tahun, merek ini berhasil merebut 5 persen pangsa pasar nasional, dan bahkan menyalip Hyundai pada periode Januari–September 2024 (17.713 unit vs 17.441 unit).
Meski demikian, Yannes menilai bahwa harga murah belum cukup untuk merebut kepercayaan konsumen Indonesia secara penuh, terutama di segmen menengah yang sangat mementingkan layanan purna jual dan ketahanan jangka panjang. “China memanfaatkan harga yang kompetitif untuk menantang pemain mapan, tapi merek Jepang mendapat manfaat dari kepercayaan selama beberapa dekade,” ujarnya.
Toyota dan Honda, lanjut Yannes, dikenal karena jaringan layanan purna jual dan suku cadang yang komprehensif.
Sementara itu, brand-brand China masih tertinggal dalam membangun ekosistem purna jual yang solid. “Jika brand China berhasil membangun kepercayaan dan infrastruktur layanan purna jualnya serta mampu mengatasi persepsi kualitas yang masih tersisa di benak konsumen kelas menengah, maka mereka kelak bisa menggoyang kekuatan merek Jepang dan Korea,” kata Yannes.