Soekarno dan Gus Dur Pernah Bubarkan DPR, Apakah Sejarah Akan Terulang di Era Prabowo?

Soekarno dan Gus Dur Pernah Bubarkan DPR, Apakah Sejarah Akan Terulang di Era Prabowo?, Soekarno: Dekrit 5 Juli 1959 untuk Mengubah Sistem Politik, Gus Dur: Dekrit 23 Juli 2001 yang Gagal Dilakukan, Perubahan Konstitusi Setelah Amandemen UUD 1945, Apakah Sejarah Akan Terulang di Era Prabowo?, Kesimpulan:
Soekarno dan Gus Dur Pernah Bubarkan DPR, Apakah Sejarah Akan Terulang di Era Prabowo?

Aksi unjuk rasa yang berlangsung pada 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR Senayan, Jakarta, kembali memanas dengan tuntutan pembubaran lembaga legislatif ini. Massa yang terlibat menilai bahwa DPR saat ini telah kehilangan sentuhan dengan kondisi masyarakat, sehingga langkah ekstrem seperti pembubaran dinilai sebagai solusi.

Namun, sejarah mencatat bahwa dua presiden Indonesia pernah mengambil tindakan serupa—meskipun secara konstitusi, pembubaran DPR tidak diperbolehkan. Mari kita ulas bagaimana Soekarno dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melakukan hal tersebut serta alasan di balik keputusan mereka.

Soekarno: Dekrit 5 Juli 1959 untuk Mengubah Sistem Politik

Presiden pertama Indonesia, Soekarno, adalah tokoh pertama yang secara resmi membubarkan DPR melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Langkah ini diambil setelah ketegangan berlarut-larut antara pemerintahan Soekarno dan DPR, yang merupakan hasil Pemilu pertama Indonesia pada tahun 1955. Meski partainya, PNI, keluar sebagai pemenang, hubungan dengan DPR tetap tegang, terutama karena penolakan DPR terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan pemerintah.

Melalui dekrit tersebut, Soekarno tidak hanya membubarkan DPR tetapi juga mengubah sistem politik Indonesia dari demokrasi parlementer menjadi Demokrasi Terpimpin. Dalam sistem baru ini, presiden mendapatkan posisi dominan, sementara kekuasaan DPR, MPR, hingga Mahkamah Agung melemah signifikan. Untuk menggantikan parlemen lama, Soekarno membentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR) melalui Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960. Sebagian besar anggota DPR-GR ditunjuk langsung olehnya, termasuk dari kalangan militer.

Langkah ini menuai pro dan kontra. Banyak pihak mengkritik bahwa dekrit ini mengarah pada pemerintahan otoriter karena melemahkan peran partai politik. Salah satu dampaknya adalah penghapusan Partai Masyumi. Namun bagi Soekarno, pembubaran DPR adalah upaya untuk mengatasi kebuntuan politik dan menjaga stabilitas negara di tengah situasi yang semakin rumit.

Gus Dur: Dekrit 23 Juli 2001 yang Gagal Dilakukan

Empat dekade setelah Soekarno, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden ke-4 RI, juga mencoba membubarkan DPR melalui Dekrit Presiden pada 23 Juli 2001. Namun, langkah ini akhirnya gagal dijalankan.

Situasi politik saat itu sangat panas. Gus Dur menghadapi berbagai tuduhan, mulai dari penyalahgunaan dana Bulog hingga penerimaan bantuan dari Sultan Brunei. Meskipun kasus-kasus tersebut tidak terbukti, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah bersiap menggelar Sidang Istimewa untuk memberhentikannya dari jabatan presiden.

Untuk menentang rencana tersebut, Gus Dur mengeluarkan dekrit dengan tiga poin penting:

  • Membekukan DPR dan MPR.
  • Mengembalikan kedaulatan kepada rakyat dengan menggelar pemilu dalam waktu satu tahun.
  • Membekukan Partai Golkar yang dianggap sebagai sisa kekuatan Orde Baru.

Namun, dekrit ini justru ditolak oleh banyak pihak, termasuk Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri dan Ketua MPR Amien Rais. Beberapa jam setelah pengumuman dekrit, MPR tetap melanjutkan Sidang Istimewa dan resmi memberhentikan Gus Dur dari jabatannya. Kejadian ini menandai akhir masa jabatan Gus Dur sebagai presiden dan naiknya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden ke-5 RI.

Perubahan Konstitusi Setelah Amandemen UUD 1945

Setelah amandemen UUD 1945, aturan tentang pembubaran DPR menjadi lebih tegas. Pasal 7C UUD 1945 secara eksplisit melarang presiden untuk membubarkan DPR. Hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif, sesuai dengan prinsip checks and balances.

Berbeda dengan sistem parlementer di beberapa negara, di mana kepala pemerintahan memiliki hak untuk membubarkan parlemen dalam kondisi tertentu, Indonesia memilih untuk menjaga independensi DPR sebagai representasi rakyat.

Apakah Sejarah Akan Terulang di Era Prabowo?

Kembali ke konteks saat ini, aksi unjuk rasa yang menuntut pembubaran DPR menunjukkan bahwa isu ini masih relevan di era modern. Para demonstran menyatakan bahwa DPR saat ini telah "nirempati" atau abai terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Namun, dengan adanya larangan konstitusi terkait pembubaran DPR, langkah tersebut tampaknya tidak akan mudah dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto atau pemimpin lainnya di masa depan.

Meski demikian, tuntutan ini bisa menjadi indikator bahwa reformasi struktural di lembaga legislatif masih dibutuhkan untuk memperbaiki citra DPR di mata publik.

Kesimpulan:

Sejarah mencatat bahwa Soekarno dan Gus Dur pernah mengambil langkah radikal dengan membubarkan DPR melalui dekrit presiden. Meski tujuan dan konteksnya berbeda, kedua keputusan tersebut mencerminkan kompleksitas hubungan antara presiden dan lembaga legislatif. Di era modern, meskipun pembubaran DPR tidak lagi diizinkan secara konstitusi, tantangan untuk menjaga efektivitas dan akuntabilitas DPR tetap menjadi isu penting yang harus dihadapi bangsa Indonesia.