Prabowo Dinilai tak Objektif, SETARA Institute Pertanyakan Prestasi Bahlil dan Seskab Teddy Bisa Dapat Bintang Mahaputera

Prabowo Dinilai tak Objektif, SETARA Institute Pertanyakan Prestasi Bahlil dan Seskab Teddy Bisa Dapat Bintang Mahaputera

PENGANUGERAHAN Bintang Mahaputera oleh Presiden Prabowo Subianto kepada 141 orang penerima menuai polemik. Ketua SETARA Institute Hendardi menilai penganugerahan Bintang Mahaputera pada 2025 bertentangan dengan asas-asas dalam UU No 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Pasal 2 UU itu menegaskan sejumlah asas yang secara ketat mengatur tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, antara lain asas kemanusiaan, asas keteladanan, asas kehati-hatian, asas objektivitas, dan keterbukaan. Hendardi menilai Prabowo secara subjektif juga memberikan bintang kehormatan kepada para pembantunya di Kabinet Merah putih, dari Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya hingga Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. “Publik secara massif mempertanyakan melalui media sosial dan media alternatif lainnya, apa jasa para menteri yang baru menjabat dengan penunjukan politik Presiden itu,” ucap Hendardi kepada wartawan di Jakarta, Kamis (28/8).

Terlebih lagi, integritas para menteri yang mendapatkan anugerah Bintang Mahaputera tersebut juga tidak terbukti dan teruji. “Bahkan beberapa nama menteri penerima Bintang Mahaputera itu disebut-sebut dalam kasus korupsi,” ungkap Hendardi.

Sosok yang menjadi sorotan ialah pemberian penghargaan untuk mantan Gubernur BI Burhanudin Abdullah yang pernah terjerat kasus korupsi beberapa waktu silam. Beberapa figur bahkan secara objektif terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, utamanya Tragedi HAM 1998 dan Pelanggaran HAM seputar Referendum Timor Leste, malah bisa mendapat penghargaan.

“Harusnya mereka tak layak mendapatkan bintang penghargaan,” jelas Hendardi.

Hendardi khawatir proses penganugerahan Bintang Mahaputera yang terkesan tak tepat tersebut, selain menurunkan kredibilitas dan nilai dari penghargaan negara itu, juga akan menjadi preseden bagi pemerintahan jangka panjang.

“Mengabaikan hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk pelanggaran serius atas Sumpah Presiden sendiri yang diucapkan dalam pelantikan,” ungkap Hendardi.(knu)