Golkar, PAN dan Nasdem Kompak Minta Penghentian Gaji dan Tunjangan DPR yang Non-Aktif

Polemik soal gaji dan tunjangan anggota DPR RI yang sudah dinonaktifkan partainya terus menjadi sorotan publik. Meski sudah tidak lagi menjalankan fungsi kedewanan, mereka tetap menerima gaji dan fasilitas negara.
Kondisi ini langsung direspons tegas oleh tiga fraksi besar di Senayan, yakni Partai Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, mengungkapkan bahwa secara teknis anggota DPR yang dinonaktifkan tetap menerima gaji. Hal itu lantaran pelaksanaan anggaran dijalankan oleh lembaga terkait, sementara Banggar sudah tidak lagi membahas detail soal pembayaran gaji tersebut.
"Kalau dari sisi aspek (teknis) itu, ya terima gaji," kata Said Abdullah di kompleks parlemen, Jakarta, Senin 1 September 2025 dikutip VIVA.co.id.
Pernyataan ini langsung memicu gelombang desakan dari partai-partai politik agar mekanisme penghentian gaji segera diberlakukan. Sebab, menurut mereka, status nonaktif semestinya diiringi dengan penghentian seluruh hak yang melekat.
Sikap Tegas Nasdem
Fraksi Partai NasDem DPR RI melalui ketuanya, Viktor Laiskodat, menegaskan pihaknya meminta agar seluruh hak keuangan dan fasilitas Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dihentikan.
“Fraksi Partai NasDem DPR RI meminta penghentian sementara gaji, tunjangan, dan seluruh fasilitas bagi yang bersangkutan, yang kini berstatus nonaktif, sebagai bagian dari penegakan mekanisme dan integritas partai,” ujar Viktor, Selasa 2 September 2025.
Ia menambahkan, penonaktifan status keanggotaan akan diproses oleh Mahkamah Partai NasDem, yang keputusannya bersifat final dan mengikat. Menurut Viktor, langkah ini merupakan wujud transparansi sekaligus bentuk tanggung jawab kepada publik.
“Mari bersama merajut persatuan dan menguatkan spirit restorasi demi membangun masa depan Indonesia yang lebih baik,” ujarnya.
Golkar: Nonaktif Harus Berkonsekuensi
Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI, Muhammad Sarmuji, menyatakan bahwa status nonaktif membawa konsekuensi logis, termasuk hilangnya hak gaji dan tunjangan.
“Anggota DPR yang dinyatakan nonaktif semestinya berkonsekuensi logis, tidak menerima gaji dan termasuk segala bentuk tunjangan. Itulah bedanya antara Anggota DPR yang aktif dengan yang nonaktif. Jika belum ada rujukan berkaitan dengan ini, MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) dapat membuat keputusan yang menjadi pegangan bagi Sekretariat Jenderal (DPR RI),” tegas Sarmuji dalam keterangannya, Rabu, 3 September 2025.
Ia menilai, tidak adil bila anggota nonaktif tetap menikmati fasilitas negara, sementara mereka tidak lagi menjalankan tugas representasi rakyat.
“Kalau sudah nonaktif, artinya terhalang atau tidak melakukan fungsi kedewanan. Kalau tidak menjalankan tugas, ya, haknya juga hilang. Hal ini bagian dari mekanisme yang adil dan transparan,” lanjutnya.
PAN Ikut Desak Penghentian Gaji
Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) juga tidak mau tinggal diam. Melalui ketuanya, Putri Zulkifli Hasan, PAN menegaskan permintaan penghentian seluruh hak anggota DPR yang berstatus nonaktif, termasuk Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Surya Utama (Uya Kuya).
“Fraksi PAN sudah meminta agar hak berupa gaji, tunjangan, dan fasilitas lain yang melekat pada jabatan anggota DPR RI dengan status non-aktif dihentikan selama status tersebut berlaku. Ini merupakan bentuk tanggung jawab Fraksi PAN dalam menjaga akuntabilitas dan kepercayaan publik,” ujar Putri Zulkifli Hasan, Rabu, 3 September 2025.
Ia menegaskan, langkah ini menjadi bukti keseriusan PAN menjaga marwah DPR RI, sekaligus memastikan anggaran negara digunakan secara tepat.
Diberitakan sebelumnya, sejumlah partai politik belakangan menonaktifkan kadernya dari DPR RI akibat pernyataan maupun tindakan yang menuai kontroversi.
Partai Nasdem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. PAN menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya. Golkar menonaktifkan Adies Kadir, Wakil Ketua DPR RI, setelah komentarnya mengenai kenaikan tunjangan dewan menuai polemik.