Terbongkar! Muhadjir Effendy Sempat Tolak Chromebook, Nadiem Makarim Malah Gaspol hingga Rugikan Negara Rp1,98 T

Kejaksaan Agung mengungkap bahwa proyek pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang kini menjerat Nadiem Makarim sejatinya sudah pernah dianggap gagal dan bahkan sempat diabaikan oleh Mendikbudristek sebelumnya, Muhadjir Effendy.
Muhadjir disebut lebih memilih tak menanggapi tawaran kerja sama dari Google karena uji coba Chromebook pada 2019 terbukti tak efektif. Hal itu diungkap Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Nurcahyo Jungkung Madyo.
“Saat itu pengadaan alat TIK ini belum dimulai. Untuk meloloskan Chromebook produk Google, Kemendikbud sekitar awal tahun 2020, NAM selaku menteri menjawab surat Google untuk ikut partisipasi dalam pengadaan alat TIK di Kemendikbud,” kata dia, Kamis, 4 September 2025.

Nadiem Makarim pakai baju tahanan Kejagung
Menurutnya, uji coba itu dinilai gagal karena Chromebook tidak bisa digunakan di daerah 3T (terluar, tertinggal, terdalam), yang justru menjadi fokus utama program digitalisasi pendidikan.
Namun, begitu Nadiem menjabat pada 2020, arah kebijakan berubah total. Eks bos Gojek itu justru menindaklanjuti tawaran Google dan bahkan membuat aturan teknis yang mengunci penggunaan ChromeOS sebagai spesifikasi wajib.
“Yang dalam lampirannya sudah mengunci spesifikasi Chrome OS,” kata dia.
Langkah Nadiem makin kentara setelah ia menerbitkan Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021. Didalam lampirannya, spesifikasi teknis yang dibuat disebut-sebut jelas hanya mengakomodasi ChromeOS.
Kebijakan itu bukan hanya bermasalah secara teknis, tapi juga dianggap melanggar sejumlah aturan, mulai dari Perpres Nomor 123 Tahun 2020, Perpres Nomor 16 Tahun 2018 jo Perpres Nomor 12 Tahun 2021, hingga aturan LKPP Nomor 7 Tahun 2018 jo LKPP Nomor 11 Tahun 2021.
Akibatnya, negara diduga merugi hingga Rp1,98 triliun dari total anggaran Rp9,3 triliun yang digelontorkan untuk proyek Chromebook periode 2019–2022.
Kejagung sendiri telah menetapkan empat tersangka dalam kasus ini, yakni Jurist Tan yang merupakan Stafsus Mendikbudristek periode 2020–2024, serta Ibrahim Arief atau IBAM, eks konsultan teknologi di Kemendikbudristek.
Selain itu, ada dua pejabat Kementerian, yaitu Sri Wahyuningsih selaku eks Direktur SD dan Mulyatsyah eks Direktur SMP. Keduanya merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek tersebut.
Dari hasil penyidikan, negara disebut merugi hingga Rp1,9 triliun akibat proyek pengadaan digitalisasi pendidikan periode 2019–2022.