Mobil Listrik Cina Bikin Jumlah Lapangan Pekerjaan Merosot Tajam

Kehadiran mobil listrik Cina dikatakan membawa dampak negatif bagi industri otomotif. Seperti terjadi di Jerman dalam beberapa waktu belakangan.

Menyitat laman Carscoops pada Selasa (02/09), industri otomotif di Negeri Seribu Kastil itu mulai goyah.

Disebutkan bahwa dalam satu tahun terakhir jumlah tenaga kerja di Jerman menyusut sampai tujuh persen.

"Diungkap Kantor Statistik Federal Jerman Destatis, sekitar 51 ribu lapangan kerja hilang dari industri otomotif sejak Juni 2024 sampai Juni 2025," tulis laporan tersebut.

BMW 320i M Sport Facelift Meluncur di IIMS 2025

Sejumlah faktor digadang-gadang membuat bisnis BMW, Mercedes-Benz sampai Volkswagen goyang.

Seperti banyak produsen kendaraan roda empat di Jerman, kesulitan mendapatkan tempat dalam persaingan dengan mobil listrik Cina.

Peralihan ke EV memaksa para manufaktur mengeluarkan biaya yang cukup besar. Sehingga memberi tekanan besar bagi mereka.

"Merek-merek Jerman kesulitan melakukan inovasi secepat brand asal Tiongkok. Lalu belum mampu menurunkan biaya (produksi) secara signifikan," lanjut laporan tersebut.

Situasi semakin berat setelah Donald Trump, Presiden Amerika Serikat mematok tarif impor cukup tinggi untuk sejumlah negara.

Kebijakan satu ini ternyata membawa dampak buruk bagi industri otomotif di Jerman. Menginat Negeri Paman Sam masih menjadi salah satu pasar terpenting mereka.

"Terungkap bahwa ekspor mobil serta suku cadang dari Jerman ke AS turun sebesar 8,6 persen," tegas laporan tersebut.

Tentu kondisi yang dihadapi oleh para pelaku usaha di Jerman sangat memprihatinkan. Mengingat negara tersebut menjadi salah satu raksasa otomotif dunia.

Indonesia Mengalami Nasib Serupa

Di sisi lain situasi yang sama turut terjadi di Indonesia. Mobil listrik Cina menyerbu pasar kendaraan roda empat di dalam negeri.

Apalagi setelah pemerintah memberikan berbagai sitmulus. Semisal insentif untuk Battery Electric Vehicle (BEV) dari luar negeri.

Keputusan di atas justru dinilai memperkuat dominasi produk-produk impor. Lalu menghambat optimasi produksi mobil dalam negeri.

"Sekarang impornya 63 persen BEV, sementara di 2024 itu (hanya) 40 persen,” ungkap Riyanto, pengamat otomotif dan peneliti LPEM FEB UI di Jakarta beberapa waktu lalu.

Riyanto menjelaskan, lonjakan populasi mobil listrik impor membuktikan Indonesia semakin bergantung pada produk-produk dari luar negeri.

Mercedes-Benz GLB 200 AMG Line

Sedangkan industri otomotif di dalam negeri masih jauh dari kata optimal. Sehingga situasi tersebut berpeluang menghadirkan ketidakseimbangan pasar.

Otomatis dapat membuat para produsen lokal merugi. Pangsa pasar mereka tergerus dengan kehadiran EV CBU.

Ke depan kalau terus begini akhirnya ya BEV impor akan dominan. Berarti yang produksi dalam negeri kapasitas terpasangnya tidak terpakai,” Riyanto menambahkan.

Sementara itu Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, utilisasi industri mobil turun. Dari semula 73 persen menjadi hanya 55 persen saja.

Lalu penjualan mobil baru dari diler ke konsumen (retail) hanya 889.680 unit pada 2024. Jumlah tersebut merosot 10,9 persen dari 998.059 unit di 2023.

Kondisi tersebut diprediksi memburuk, sebab mobil listrik impor diyakini belum mampu menyerap komponen lokal secara tahun depan saat insentif berakhir.

Dampaknya adalah industri komponen dalam negeri mulai menjerit. Ancamanan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sudah di depan mata.